Niatnya mas Tofa mau gondrongin
rambut yang udah agak memanjang kayak rumput itu, akhirnya ya ke tukang cukur kan
buat ngerapiin calon rambut gondrong itu. Letaknya di kecamatan, sekitar tiga
kilo meter dari rumah. Itu adalah tukang cukur yang lumayan terbaik lah di
daerah ini. Pernah dua tahun yang lalu cukur di sana juga, dan itu udah dua
tahun berlalu. Ya, walhasil muter-muter cari tempat itu sampai masuk ke tiga
gang. Gak ketemu. Yaudahlah pasrah, ke tukang cukur mana aja yang penting bisa
rapi itu rambut rumput. Pas arah selatan mau pulang, tanpa sengaja ngeliat ban
kuning barat jalan, dan ingat kalau itu kode gang si tukang cukur.
Alhamdulillah, muter-muter berakhir di tempat yang tepat dan dicari. Heak.
Kayak jodoh kali ya, muter-muter dulu trus tanpa sengaja, udah pasrah gitu, ya
akhirnya ketemu juga. :D Haahaha, Apa siiii.
Langsung cus cukyur, diriku duduk menemaninya di tempat
duduk sambil memandangi sekeliling ruangan sempit itu. Ada foto seorang ulama
bersurban yang embuh saya lupa namanya tapi ya gak asing. Dari awal kita duduk, tukang cukur yang
rambutnya gundul seperempat itu, yang tengahnya disisain rambut yang diikat,
bodynya kayak body preman menurutku, dia langsung ngobrol-ngobrol seputar
ketuhanan yang Maha Esa. Tentang manunggaling kawula gusti itu. Perihal ketidakberadaan
kita di dunia ini. Sejatinya kan emang hanya Allah ya yang ada. Hanya Allah,
kita fana.
Terbersit sebentar lagu senyumanmunya Noe Letto.
Lagu yang menyiratkan pesan bahwa tak ada yang maujud di antara kita.
“Iya kan, kita sebenarnya gak ada ini...”
Aku dan mas Tofa yang ngangguk. Sambil guntingin rambut
mas Tofa dia banyak berucap.
Komentar
Posting Komentar