Langsung ke konten utama

Ngaji Hikam

 

Mengajidiri#1

Malam ini, guru saya kembali mengisi pengajian kitab Al-Hikam karya fenomenal dari Ibnu Athaillah. Kitab itu termasuk salah satu kitab yang saya suka.

Salah satu yang saya dapat malam ini adalah bahwa ternyata mayoritas ulama-ulama salaf memiliki tahapan yang sama dalam proses belajar. Mereka mendalami fikih terlebih dahulu untuk kemudian belajar tentang ilmu suluk atau tasawwuf. Ibnu Athaillah sendiri, sebelum belajar ilmu suluk beliau juga belajar ilmu sastra atau bahasa. Saya jadi penasaran, apakah ilmu sastra itu yang kemudian mengantarkannya untuk tertarik mempelajari ilmu suluk? Santri-santri beliau juga banyak yang terkenal, seperti Syekh Tajuddin Al-Subki juga Imam Al-Qarafi.

Tadi guru saya juga bercerita tentang bentuk kegilaan cinta al-Hallaj kepada Allah yang di Indonesia pengikutnya juga terkenal seperti Hamzah Al-Fansuri, Syekh Siti Jenar juga Syekh Mutamakkin. Bukankah mereka yang menyebutkan bahwa Allah sudah menyatu dalam diri mereka bahwa diri mereka adalah Allah bahwa di dalam jubah mereka hanyalah ada Allah.

Gila sekali! Begitulah cara mereka mencintai Allah sehingga tak ayal banyak yang menyebut mereka kafir, karena tak paham akan cara yang mereka tempuh dalam mencintaiNya.

Ah, banyak memang manusia yang tak paham cara manusia lainnya dalam mencintai..

Tapi seru rasanya jika sudah menganggap bahwa diri kita adalah manifestasi wujud Allah. Diri kita adalah Allah. Apapun yang kita perbuat, wajah kita, bakat maupun potensi yang kita miliki, semuanya adalah Allah. Milik Allah. Dan diri kita hanyalah sebuah wadah untuk menampung itu semua. Maka ketika banyak yang memuji, hakikatnya mereka sedang memuji Allah.

Dan saya sebagai wadah, tentu tak berhak memiliki apapun di dunia ini. Abah, umi, kakak, adik, sahabat, potensi, kemahiran, apapun dan siapapun di dunia ini; saya tak berhak memiliki semuanya. Bahkan pada diri saya pun, saya tak berhak memilikinya. Lalu apa yang saya punya? Allah? Saya juga tak paham, sebenarnya saya memiliki Allah atau Allah yang memiliki saya.

Hehehe, Seru sekali, sungguh.

Duh, sufi..sufi..

Di gunung mana kau bisa kami daki?


(2018)

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kusebut Ia, Puisi

 1- Timbul tenggelam  Kadang dekat, kadang lupa pulang Tapi kau selalu setia, Menungguku datang. 2- Tanamlah aku, Sebagai manusia Yang berhak tumbuh Bersama usia Tanamlah aku, Sebagai Ibu Meski berlumur lumpur Doanya melesat menembus waktu Tanamlah aku, Sebagai warga Yang tak punya daya, Kecuali suara Kutanam diriku: Sebagai hamba yang tak punya apa Kecuali Dia. 3- Aku pulang,  Pada rumah bernama puisi Tempatku menemukan diri. 4- Pergi aku jauh, Seperti harapmu: mencari ilmu Selain koper dan ransel, Aku juga melipatmu rapi, dalam dada. Tapi rindu sering datang, membuatnya berantakan. Pergi aku jauh,  Kusangka ranselku berat  Oleh buku dan baju  Ternyata aku juga, Membawa berton-ton rindu yang kerap memberati langkahku. (Bandung yang dingin, di suatu Mei) 5- Enam menuju tujuh Cinta itu terus tumbuh Merona di kala dekat Rindu di kala jauh, Dan di dekatmu: waktu melesat seperti kilat Di jauh: ia terseok menempuh punggung hari, seperti rayap Enam menuju tujuh M...

Ranting

“Ranting”   Author : Fina Laila Ia hanya setangkai Ranting,   jangan digantungi harapan atau perasaan, nanti   bisa terluka dan patah...                                             Kepada : Yth. Sahabat saya,   seluruh manusia se- dunia. Hanya kau yang boleh menyakiti dirimu sendiri, tidak orang lain atau keadaan di luarmu. Maka barangkali keadaan tidak baik-baik saja, tapi pastikan hati dan jiwamu baik-baik saja. Ranting! Hei, perkenalkan, namaku Bianglala, bisa dipanggil Lala atau Bianglala. Asal jangan Biangkerok! Dan dia yang duduk di depanku saat ini adalah sahabat baruku. Namanya Semesta Ranting Mustofa. Sungguh! Katanya itu nama asli ya...

Kala Tubuh Minta Rehat

Catatan Hari Ini 📝✨ Semalam aku udah tekad banget buat nyelesain tugas presentasi genderku bakda subuh. Tapi naas! 🥲 Begitu bangun pagi tadi, kepala langsung puyeng bukan main. Kupakai koyok seperti biasa, terus kupaksa keluar cari angin dan sinar matahari sekalian beli lauk buat sarapan. Biasanya sih, kalau pusing palingan bentar doang, trus sembuh. Apalagi pagi ini ada Pak Lukman Saifuddin ngisi kuliah. Aku pikir, ya udah, rebahan sebentar, nanti juga kuat ikut kuliah beliau. Tapi ternyata, sampai balik ke kamar, pusing makin menjadi. Makan gak enak, mulut pahit banget. Kepala nyut-nyutan—kadang depan, kadang belakang, kanan-kiri pun ikut-ikutan. Nggilaaaaa 😵‍💫 Oke, fine. Aku butuh tidur. Mungkin siangan bisa kerjain tugas presentasi gendernya. Gak papa deh gak ikut kuliah Pak Lukman, yang penting cepat pulih dan bisa fokus. Pas temen-temen pada berangkat kuliah, Yaya—yang biasanya ogah-ogahan—malah ngajakin kuliah: “Miiiii, ayo kuliah, itu mbak-mbak udah berangkat.” “Aduh ...