Langsung ke konten utama

Abah dan Pandangan Terhadap Perempuan

Oktober dan November kemarin (2022), paperku lolos di Jakarta dan Semarang. Maka kuberangkat ke sana untuk presentasi, tentu dengan biaya panitia, ditambah uang saku pula. Kusampaikan dengan bangga ke abah tentang paperku yang lolos dan akan presentasi di depan orang-orang. Paper yang di Jakarta salah satu kegiatan KEMENAG RI, dan di Semarang salah satu rangkaian acara KUPI.

Dan gara-gara pergi ke Jakarta juga ke Semarang sendirian, kudengar cerita dari tetangga tentang pujian abah padaku:

“Fina itu otaknya mampu, sayangnya dia perempuan”

Aku tertawa mendengar kalimat terakhir. Abah banyak berubah tentang pandangannya terhadap perempuan, tapi beberapa memang belum berubah. Termasuk satu ini. Tentang perempuan dan akses mobilitasnya yang dianggap terbatas.

Di luar sana, barangkali sudah biasa perempuan pergi sendirian ke jarak tempuh yang jauh, tapi diriku hidup dan dibesarkan di lingkungan desa yang hal demikian masih tabu. Bukan dilarang, tapi justru mereka berfikir perempuan demikian cukup berani melangkah keluar dan tak takut halangan selama di perjalanan. Padahal ‘perempuan’ loh. Begitu juga dengan abah, yang sejak kecil sampai diriku menikah, tak pernah mengizinkanku pergi kemanapun tanpa mas kandung. Maka jiwa travelingku baru terealisasikan setelah menikah dan bisa pergi kemana-mana sendiri. Karena bagi abah, seorang perempuan memiliki satu-satunya rahim yang harus dijaga, perempuan tak pandai pergi sendiri, perempuan belum lincah menghadapi rintangan di perjalanan, dll.

Dan Kembali ke kalimat abah tadi; sayangnya, Fina Perempuan. Aku belum paham kenapa abah masih menyangsikan ketidakmampuan perempuan padahal diriku sudah membuktikan berangkat sendiri dengan aman ke Jakarta dan Semarang. Dalam pikiran Abah sejak dulu, perempuan itu masih memiliki akses dan mobilitas yang lambat dan terbatas. Tapi sejauh ini, aku belum menemukan rintangan untuk bisa mengembangkan diri sebab keperempuananku.

Lalu kupikir lebih dalam, ah iya! Barangkali abah berfikir bahwa beberapa perempuan masih harus menjalani fungsi reproduksi yang menguras tenaga dan waktu. Tak cukup beberapa bulan, tapi tahunan. Mulai hamil sembilan bulan, menyusui 2 tahun, belum mendidiknya, belum lagi perencanaan anak kedua dan siklusnya terus begitu.  Beberapa perempuan harus terbentur dengan izin suami, atau tugas-tugasnya dalam mendidik anak dan mengurus rumah. Beberapa perempuan belum memiliki keberanian untuk speak up, tampil berani, maju ke depan, pergi sendiri, dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan mobilitas. Beberapa perempuan masih harus menghadapi emosinya sendiri ketika menghadapi anak, menyelesaikan baby blues, menghadapi mertua atau ipar yang tak sejalan, menghadapi keminderannya sendiri karena stigma masyarakat yang masih menghanyakan ibu rumah tangga, maka jangankan berkembang maju, bertahan di titiknya saat ini saja masih sulit.

Tapi sesungguhnya abah tak perlu merisaukan keperempuananku, karena sejauh ini, sebagai perempuan aku menyandang banyak privilege. Dan privilege terbesarku adalah izin dan support suami. Maka sungguh kuucapkan terimakasih pada abah yang telah menitipkanku pada laki-laki yang amat menuntunku dan memberiku hak kemerdekaan. Sejak menikah, kran kebebasanku terbuka. Aku bebas pergi kemana-mana meski tanpa diantar suami.  Maka hanya satu kekhawatiran abah yang relate menjadi penghambat mobilitasku sebagai perempuan, bahwa secara fitrah aku akan mengalami masa reproduksi. Dan tak seperti perempuan lainnya yang mengalami proses reproduksi secara normal, proses reproduksiku cukup menantang. Rahimku tergolong lemah, mengalami sekali keguguran dan sekali IUFD. Lalu di kehamilan ketiga, tetap saja ketuban itu pecah duluan tanpa kontraksi untung segera ditangani dan sudah masuk usia melahirkan. Maka untuk mendapatkan anugerah seorang anak, aku harus mengalami tiga kehamilan. Dan ini cukup menjadi salah satu tantanganku sebagai perempuan, karena harus menjalani fungsi reproduksi yang lebih melelahkan dan memakan waktu lebih lama dari orang lain. Meski tentu saja untuk reproduksi ke depannya bisa dipersiapkan secara matang. Tapi bagiku sebenarnya menjalani reproduksi itu bukan hambatan, tapi lebih kepada jeda waktu untuk istirahat dan pengalihan fokus kepada anak.

Lalu pandangan kedua abah yang menggelitikku, pas berpapasan dengan seorang ibu yang menggendong anak perempuannya:

“Itu perempuan ya? Perbanyak anak laki-laki saja. Anak laki-laki doanya tak terputus, tak ada liburnya” (Artinya kalau laki-laki tidak akan mengalami haid, jadi doanya tidak terputus). Tentu saja pernyataan ini mengalami banyak bantahan dalam hatiku. :D Iya kalau si anak laki-laki rajin doa di setiap salat, lagi pula doa perempuan haid juga sama pahalanya, Allah tidak memandang terkabulnya doa dari keadaan haid atau tidaknya seseorang, bahkan bisa jadi anak perempuan yang mengalami haid doanya lebih mustajab, lebih rajin berdoa juga, juga; bukankah seorang perempuan yang haid dia sedang menjalankan ibadah kepada rabbNya dengan melaksanakan perintah Allah yaitu kalau haid dia tidak boleh salat dan puasa. Maka bentuk menahan diri dari salat dan puasa itu kan ibadah. Karena Allah yang nyuruh.

Dan tentu itu bantahan-bantahan dalam hati. Karena di hadapanku, abah tidak hanya orang tua tapi juga guru. Untuk menyampaikan beberapa hal harus di waktu yang tepat dan kalimat yang tepat. Apalagi ya? Oh abah juga menyuruh memperbanyak anak laki-laki dari pada perempuan karena kalau perempuan kelak akan jadi milik suaminya. Dia akan ikut suaminya. Maka banyakin anak laki-laki saja. Hahahaa..

Tapi itu hanya bagian kecil dari pemikiran abah tentang perempuan. Dalam bentuk nyata, abah sangat memandang hormat dan menjaga benar sosok perempuan. Abah sangat rutin dan menekankan santri-santrinya maupun masyarakat untuk tidak nikah sirri. Kalau ada yang mengundang abah, tapi praktik nikahnya itu sirri, abah tidak segan menolak undangan itu. Abah sangat menjaga hak perempuan dan anak dengan melarang praktik nikah sirri. Perhatian terhadap pendidikan putra putrinya juga seimbang, tidak ada yang dibeda-bedakan, laki-laki atau perempuan. Juga pendidikan santri putra dan putri sama, memiliki porsi yang seimbang. Banyak praktik nyata abah yang sangat menghormati dan memuliakan perempuan. Terakhir yang kudengar dari pernyataan abah tentang hukum seorang anak berbakti pada bapaknya yang hanya numpang enak semalam lalu pergi menceraikan ibunya dan tak bertanggung jawab atas ibu dan dirinya. Apa bapak seperti itu masih patut dihormati. Kan yang capek hamil, melahirkan, mendidik, menafkahi, itu ibu. Sama sekali tidak ada campur tangan bapak itu. Pertanyaan abah ini merupakan salah satu bentuk kepedulian pada sang ibu yang sudah lelah fisik dan emosi, lalu juga apakah si bapak berhak untuk mengambil hak asuh anak itu setelah dicampakkannya sejak awal.  

            Hehehe, udah ya ceritanya. Semoga bermanfaat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kusebut Ia, Puisi

 1- Timbul tenggelam  Kadang dekat, kadang lupa pulang Tapi kau selalu setia, Menungguku datang. 2- Tanamlah aku, Sebagai manusia Yang berhak tumbuh Bersama usia Tanamlah aku, Sebagai Ibu Meski berlumur lumpur Doanya melesat menembus waktu Tanamlah aku, Sebagai warga Yang tak punya daya, Kecuali suara Kutanam diriku: Sebagai hamba yang tak punya apa Kecuali Dia. 3- Aku pulang,  Pada rumah bernama puisi Tempatku menemukan diri. 4- Pergi aku jauh, Seperti harapmu: mencari ilmu Selain koper dan ransel, Aku juga melipatmu rapi, dalam dada. Tapi rindu sering datang, membuatnya berantakan. Pergi aku jauh,  Kusangka ranselku berat  Oleh buku dan baju  Ternyata aku juga, Membawa berton-ton rindu yang kerap memberati langkahku. (Bandung yang dingin, di suatu Mei) 5- Enam menuju tujuh Cinta itu terus tumbuh Merona di kala dekat Rindu di kala jauh, Dan di dekatmu: waktu melesat seperti kilat Di jauh: ia terseok menempuh punggung hari, seperti rayap Enam menuju tujuh M...

Ranting

“Ranting”   Author : Fina Laila Ia hanya setangkai Ranting,   jangan digantungi harapan atau perasaan, nanti   bisa terluka dan patah...                                             Kepada : Yth. Sahabat saya,   seluruh manusia se- dunia. Hanya kau yang boleh menyakiti dirimu sendiri, tidak orang lain atau keadaan di luarmu. Maka barangkali keadaan tidak baik-baik saja, tapi pastikan hati dan jiwamu baik-baik saja. Ranting! Hei, perkenalkan, namaku Bianglala, bisa dipanggil Lala atau Bianglala. Asal jangan Biangkerok! Dan dia yang duduk di depanku saat ini adalah sahabat baruku. Namanya Semesta Ranting Mustofa. Sungguh! Katanya itu nama asli ya...

Kala Tubuh Minta Rehat

Catatan Hari Ini 📝✨ Semalam aku udah tekad banget buat nyelesain tugas presentasi genderku bakda subuh. Tapi naas! 🥲 Begitu bangun pagi tadi, kepala langsung puyeng bukan main. Kupakai koyok seperti biasa, terus kupaksa keluar cari angin dan sinar matahari sekalian beli lauk buat sarapan. Biasanya sih, kalau pusing palingan bentar doang, trus sembuh. Apalagi pagi ini ada Pak Lukman Saifuddin ngisi kuliah. Aku pikir, ya udah, rebahan sebentar, nanti juga kuat ikut kuliah beliau. Tapi ternyata, sampai balik ke kamar, pusing makin menjadi. Makan gak enak, mulut pahit banget. Kepala nyut-nyutan—kadang depan, kadang belakang, kanan-kiri pun ikut-ikutan. Nggilaaaaa 😵‍💫 Oke, fine. Aku butuh tidur. Mungkin siangan bisa kerjain tugas presentasi gendernya. Gak papa deh gak ikut kuliah Pak Lukman, yang penting cepat pulih dan bisa fokus. Pas temen-temen pada berangkat kuliah, Yaya—yang biasanya ogah-ogahan—malah ngajakin kuliah: “Miiiii, ayo kuliah, itu mbak-mbak udah berangkat.” “Aduh ...