Langsung ke konten utama

Ranting




“Ranting”


 Author : Fina Laila








Ia hanya setangkai Ranting,

 jangan digantungi harapan atau perasaan,

nanti  bisa terluka dan patah...



                     




                     

Kepada :

Yth.

Sahabat saya,  seluruh manusia se- dunia.









Hanya kau yang boleh menyakiti dirimu sendiri,

tidak orang lain atau keadaan di luarmu.

Maka barangkali keadaan tidak baik-baik saja,

tapi pastikan hati dan jiwamu baik-baik saja.






Ranting!



Hei, perkenalkan, namaku Bianglala, bisa dipanggil Lala atau Bianglala. Asal jangan Biangkerok! Dan dia yang duduk di depanku saat ini adalah sahabat baruku. Namanya Semesta Ranting Mustofa. Sungguh! Katanya itu nama asli yang tertera di ijazahnya sejak TK hingga SMA. Kutengok KTPnya juga memang namanya begitu, tidak kurang tidak lebih. Aneh sekali. Apalagi nama panggilannya, Ranting. Hahaha..

     Ah ya, sebagai mahluk tukang ramal, aku biasa menebak filosofi dari sebuah nama. Em, nama Semesta, semua orang tentu tau makna di balik nama itu. Semesta adalah nama yang mencakup seluruh alam dan isinya. Berat sekali menyandang nama semegah itu, tapi anehnya nama semegah Semesta bersanding dengan nama selemah Ranting. Maka biarlah kedua nama itu berpadu, dan aku tak pernah bertanya kenapa orang tuanya dulu memberi dua nama aneh itu. Yang bisa kutebak dengan baik hanya nama belakangnya saja, Mustofa. Berasal dari bahasa Arab yang bermakna terpilih. Manusia yang terpilih karena usahanya sendiri, tidak serta merta langsung anugerah dari Allah. Kalau yang terpilih karena langsung anugerah Allah tanpa usaha, bukan Mustofa namanya tapi Mujtaba. Dan itu nama tetanggaku. Eh! J

     Lalu, nama panggilan Ranting itu loh yang tak habis kupikir. Lah, kalau tidak dipanggil Ranting, lalu dipanggil siapa? Semes? Ah, jangan! Nanti menyerupai teknik permainan olahraga volly, smash. Atau Tata? Ya elah, itu nama perempuan. Em, bagaimana kalau Mus? Nanggung sekali. Atau Tofa? Bisa jadi. Tapi itu berimplikasi pada kebiasaan suka travel alias jalan-jalan. Lah, Tofa itu artinya kan mengembara. Hahaha, baiklah, nama paling aman untuk sementara ini tetap Ranting. Iya, namanya Ranting. Panggil saja Ran, biar sedikit lebih keren.

     Dan lihatlah, sepagi ini dia telah bertandang ke kedai kopi milikku. Sudah hampir seminggu dia biasa nongkrong di sini. Sejak awal aku melihatnya, ia datang sebagai laki-laki yang hidup dengan suara-suara masa lalu yang kelam dan menyedihkan. Hatinya seperti diluluhlantakkan berkali-kali. Berkali-kali ia jatuh cinta, namun berkali-kali juga ia gagal. Orang yang ia cintai, hanya berakhir sebagai sahabat atau teman dekat. Demikian katanya, saat memulai cerita padaku tempo hari.

     “Jangan terjebak dalam kemuraman..”

     Ujarku, saat pertama kali menyapanya sambil menyodorkan segelas kopi yang ia pesan, lalu aku memilih duduk di hadapan wajahnya yang muram. Kemudian kami berkenalan sebagai manusia, sebagai pemilik kedai dengan pelanggannya, sebagai sesama warga negara Nusantara, sebagai saudara seagama, tidak sebagai laki-laki dengan perempuan. Aku membaca dan menyangka bahwa dia sudah tidak tertarik lagi pada perempuan. Keadaan tersebut semakin membuatku leluasa untuk menjadi teman dekatnya. Setidaknya kami tidak akan saling jatuh cinta.

     “Kau pernah jatuh cinta?”

Ia bertanya begitu saja padaku dan segera kujawab dengan anggukan pelan.

     “Pernah, sekali. Kau?”

     “Aku juga jatuh cinta hanya sekali. Selebihnya hanya perasaan biasa saja. Tapi aku sudah kecewa berkali-kali..”

     “Hahahaha..kok bisa?”

      Dan dengan suara letih ia mulai bercerita.

...

     Dalam hidupnya, ia memiliki mamak terhebat sedunia. Seluruh nafas, seluruh arah, seluruh tujuan, seluruh restu, seluruh bahagia, seluruh cerita, seluruh yang ia miliki adalah tentang mamak dan abailah surga yang dikata orang-orang. Ia sudah terlalu bahagia berada di surganya sendiri; bersama mamak. Kegagahannya sebagai laki-laki hancur lebur di hadapan mamak. Mamak adalah tempat ia pulang ketika kehidupan semakin terik atau terlalu ‘hujan’. Sebagai laki-laki dia juga pernah letih, namun beri saja secangkir celoteh mamak, ia langsung bugar bak kembang mawar baru disiram hujan. Dan mamak adalah alasan untuk segala alasan dari seluruh perbuatannya. Ranting benar-benar yakin, Allah menitipkan surgaNya dalam diri mamak.    

     Ia hidup dalam keluarga terlalu berkecukupan. Seluruh urusan hidupnya seperti pendidikan, ekonomi, keluarga, karir semuanya berjalan baik-baik saja. Namun tidak dengan hubungan, dia merasa terlalu rumit menjalani persoalan satu itu.

     Soal hubungan, ia pernah benar-benar jatuh cinta pada seorang perempuan. Namanya Aurora, panggilannya Rara. Nama sefeminim itu sebenarnya tidak mewakili kepribadiannya yang tomboi. Dan pada Rara itu lah ia melabuhkan hatinya sungguh-sungguh, untuk masa depannya.

     Hampir empat tahun mereka menjalin hubungan, sebagai orang dekat yang saling merasakan kenyamanan; saling tukar cerita dan berbagi kisah juga luka. Empat tahun, dan semuanya mengalir sebagaimana biasa. Perasaan itu juga dibiarkannya mengalir, mereka tidak menamainya sebagai sebuah hubungan semacam pacaran dan lainnya. Hanya sebuah rasa nyaman yang menghubungkan Ranting dan Rara selama empat tahun. Rasa nyaman itu ingin dibawanya ke masa depan, maka Ranting memberanikan diri mengajukan Rara pada mamak.

     Sayang beribu sayang, mamak tak restu. Jarak rumahnya terlalu jauh, Rara juga bukan tipe perempuan yang mamak harapkan, bukan perempuan anggun, manis, solehah dan semacamnya. Ah, kalau tak jodoh memang tak perlu berbagai macam alasan. Mudah sekali Allah memisahkan dua orang yang tak ditakdirkan bersama, sebesar apapun cinta keduanya. Dan Ranting juga Aurora harus menghadapi episode luka mereka. Barangkali sama denganku saat mencintai sosok bernama Hujan, laki-laki yang datang dengan sangat indah dan menakjubkan. Semua harapan dan perasaan terlanjur tumbuh mengakar, namun restu orang tua menjadi tembok tertinggi yang tak bisa dilompati. Ayahku tak setuju, karena jarak yang terlalu jauh dan berbagai macam alasan lainnya. Tapi tetap saja ada yang bergejolak dan untuk pertama kalinya aku benar-benar keras kepala. Perasaan dan harapan itu meruntuhkan rasioku. Bagai tak ada cerita bahagia lagi selain bersamanya. Hahahaha, dan aku yakin Ranting juga Aurora sedang merasakan hal semacam itu. Tak mudah memang, tapi waktu itu ia percaya bahwa ia bisa berdamai dengan hatinya.

     Beberapa tahun berlalu, saat itu ia fokuskan diri untuk menyelesaikan kuliah. Tak ada lagi cerita tentang perempuan dalam hidupnya, toh kalau pun ada ia tak lagi mudah meletakkannya di hati. Ia benar-benar trauma untuk jatuh cinta lagi. Hingga beberapa waktu kemudian, seorang sahabatnya mengenalkannya pada saudara perempuannya. Sosok gadis yang cantik jelita dan cerdas! Namanya Nadine. Lengkapnya, Siti Nadine.

     Harapan tentang sebuah hubungan kembali menyala di diri Ranting. Ia akan segera mendapatkan menantu idaman mamak. Perasaan dan harapan itu kembali bermekaran di hati Ranting. Walau sisa-sisa perasaan pada Aurora masih ada, tapi ia tidak ingin terjebak masa lalu. Ia tak ingin membutakan rasionya sendiri.

     Dan perasaan itu bersambut, Nadine menerima tawaran ta’arrufnya. Ranting pun mulai berkenalan dengan Nadine dan dalam jangka waktu yang tak lama keduanya merasa ada kecocokan. Ranting percaya, kali ini mamak pasti setuju. Lihatlah, Nadine adalah gadis cerdas, cantik, solehah dan anggun. Ia juga organisatoris, perempuan yang melibatkan dirinya untuk aktif di berbagai kegiatan. Ranting benar-benar menaruh harapan besar untuk gadis satu ini. Dan percaya sekali ia kalau mereka akan berjodoh.

     Tak butuh waktu lama untuk mengenalkan Nadine pada Mamak. Dan benar dugaannya, mamak sangat setuju jika Nadine menjadi menantu mamak. Namun, sekali lagi, jodoh adalah perkara paling rahasia yang tak mudah diterka. Setelah beberapa waktu kedekatan mereka terjalin, menumbuhkan harapan dan perasaan yang tumbuh mengakar di hati keduanya, namun sayang berkali sayang, Nadine dijodohkan dengan laki-laki pilihan bapaknya. Sebagaimana mamak dalam kehidupan Ranting, bagi Nadine bapaknya jua adalah segala alasan untuk setiap perbuatan dan pilihannya. Maka demikianlah cerita kembali bergulir menyakitkan. Ranting harus merelakan Nadine. Dan ia harus menghadapi episode kecewanya yang kedua.

     Tapi dia tidak pernah berhenti percaya, ia yakin akan ada pengganti terbaik dari Aurora atau pun Nadine. Ia benar-benar harus menemukan pengganti untuk membayar rasa kecewanya selama ini. Dan tak perlu menunggu lama, harapan itu terkabul dengan kehadiran gadis solehah yang tak kalah pintar dari Nadine. Mamak langsung yang mengenalkannya pada Ranting. Mamak setuju, keluarganya setuju, gadis itu atau pun dirinya juga setuju. Kali ini, Ranting yakin sasarannya tidak akan melesat. Ia juga telah memastikan bahwa gadis itu tidak sedang atau akan dijodohkan dengan laki-laki lain.

     Setelah mamak datang ke rumah si gadis, sekarang giliran Ranting yang langsung datang menemui gadis itu. Ah ya, namanya Aisyah kalau tidak salah. Dan sejak itu mereka pun berta’arruf. Tapi kau tahu bukan bahwa mauNya itu tidak pernah diterka? Menggebu-gebulah kau berharap pada seseorang atau keadaan, hahahaha, dan Dia akan dengan mudah mematahkan harapan hambaNya. Dengarlah cerita Ranting, kali ini ia harus benar-benar menerima kenyataan, ia kembali menghadapi episode kecewanya. Episode kecewa yang ketiga! Karena nyatanya, sebelum ia datang melamar, sudah ada laki-laki yang terlebih dulu melamar Aisyah. Sebenarnya Aisyah belum memberinya jawaban, tapi  Ranting memilih mundur. Secara hukum Islam barangkali ia tidak bersalah jika melamar Aisyah, karena toh Aisyah belum memberikan jawaban pada laki-laki pertama yang melamar. Tapi tetap saja, ada yang menggelisahkan di hati Ranting. Apalagi mamak juga memintanya untuk menggagalkan lamaran itu.  

     Untuk kali ini ia telah dikecewakan oleh rasa percaya, harapan dan khayalan. Dia telah menghancurkan keinginan, membunuh rasa percaya diri, memusnahkan cinta, menghancur-leburkan pemujaan terhadap wanita, membangun tonggak-tonggak keraguan bahwa dunia tak pernah bisa dikenali. Ia benar-benar letih, namun mamak selalu menyemangati.

     Ah, mamak. Perempuan nomor satu dalam hidupnya, sosok yang tak pernah mengecewakannya bahkan justru membayar seluruh kecewa di hidupnya. Ah, mamak. Lihatlah, walau usianya hampir menggapai lima puluh, tapi gaya dan penampilannya seperti anak muda umur dua puluh tahunan. Cara bicara dan semangatnya juga melebihi anak muda seusia Ranting.

     Maka, demi melihat senyum dan harapan mamak, Ranting tidak menyerah. Ia kemudian berkenalan dengan perempuan cantik, putih dan lagi-lagi tak kalah cerdas dengan perempuan-perempuan sebelumnya. Ranting yakin ini adalah perempuan terakhir. Ia percaya Allah telah lelah mengujinya berkali-kali dengan rasa kecewa. Mulai dari Aurora, Nadine hingga Aisyah. Dan percaya sekali Ranting, bahwa Maryam, nama gadis kali ini adalah perempuan terakhir dalam pengembaraannya.

     “Lalu, bagaimana? Mamak setuju kan sama Maryam?”

     Aku menyela dengan pertanyaan ketika Ranting bercerita tentang Maryam. Dan entahlah ini sudah hari ke berapa sejak pagi itu, sejak kami saling berkenalan di kedai kopi ini. Juga sudah berapa puluh gelas kopi menemani perbincangan kita. Aku menghasudnya bahwa kopi bisa menyembuhkan luka. Hahaha, entah teori dari mana. Tapi mau saja Ranting percaya, ia terus saja datang ke kedai ini dan memesan kopi setiap pagi. Dan seperti biasa, aku akan menemani sahabat baruku ini bercerita atau berceloteh tentang apapun.

     “Mamak sangat setuju, La. Tapi, Ibu Maryam yang tak setuju..”

Jawab Ranting dengan nada lesu. Tawaku spontan pecah tak tertahan.

     “Hahaha, kasihan sekali nasibmu Ran!”

     “Dasar kau La, malah ketawa! Yah, tapi  memang beginilah laki-laki, harus siap-siap kecewa dan patah hati”

     Aku hanya tersenyum mendengarnya sambil menyodorkan kopi kayu mas, yang baru saja diolah oleh sahabatku, Mei.

     “Kau minumlah kopi ini, kemarin kopi ini baru memenangkan juara kopi terbaik se Nusantara dan sekarang ia menjadi icon kota ini. Barangkali kopi ini bisa menghibur rasa kecewamu, Ran...”

     Ranting menerima tawaranku, diseduhnya kopi kayu mas itu pelan.

     “Belum pernah aku minum kopi senyaman ini, La..”

     “Ya, itu memang produk unggulan kami saat ini. Bijinya langsung dipetik dari pegunungan Kayu Mas, di Arjasa. Ah ya, kau tahu daerah itu?”

Ranting menggeleng.

     “Wah, sebagai traveller belum lengkap rasanya kalau kau belum mendatangi daerah itu, Ran..”

     “Dimana letaknya?”

     “Dari kecamatan Arjasa, kau masuklah ke arah selatan, di sana sudah ada panah menuju perkebunan kopi kayu mas. Jaraknya sekitar 30 KM dari kecamatan..”

Ranting hanya mengangguk. Lalu kita kembali bercerita tentang apapun.

     “Sebenarnya ada lagi La..”

     “Ada lagi apa?”

     “Perempuan”

     “Hahaha, jangan banyak-banyak Ran! Semakin banyak, semakin kecewa kau..”

     “Yah, namanya juga masa pencarian La..”

     “Oh, iya iya. Em, siapa namanya?”

     “Namanya Queen. Kalau kau jadi laki-laki, kau juga pasti naksir sama dia..”

     “Hahaha, kok bisa?”

     “Cerdas dan cantik, La!”

     “Yang kemarin-kemarin kan juga cerdas dan cantik, Ran..”

     “Tapi dia juga perempuan yang sangat baik dan bertalenta. Semua orang mengaguminya, La...”

     “Kau mengenalnya?”

     “Tidak, aku hanya mengenalnya lewat teman-teman”

     “Hahaha, kamu ini aneh Ran. Bagaimana mungkin perkataan orang kau jadikan pegangan”

     “Firasat saja, La..”

     “Haleh, nikah tuh sama firasat! Eh, tapi mamak sudah tahu belum?”

     “Sudah, dan masalahnya mamak tak setuju”

     “Hahahaha....”

     “Kamu tertawa terus, La. Kenapa memang?”

     “Ceritamu itu loh Ran, selalu gagal maning gagal maning..”

Ranting ikut tertawa melihatku tertawa. Diseduhnya lagi kopi kayu mas sampai habis.

     “Eh, memang kenapa mamak gak setuju?”

     “Anaknya apatis, agak cuek gitu La..”

Aku tertawa lagi, tak terhitung untuk yang keberapa kalinya. Baru kali ini aku memiliki pelanggan dengan tingkat patah hati yang tinggi.

     “Entahlah La, bagaimana mau mamak. Aku rasa itu bukan alasan yang logis, lah manusia kan bisa berubah La..”

     “Barangkali itu bukan alasan yang logis untukmu, Ran. Tapi firasat seorang ibu itu lebih tajam loh..”

     “Itu yang tak bisa aku mengerti sampai saat ini”

     “Yah, bisa jadi bagi kita alasan orang tua tidak pernah logis. Tapi itu tidak pernah penting, Ran. Almarhum ayahku pernah bilang: Allah tidak pernah memperhatikan kelogisan alasan orang tua, Allah hanya memperhatikan ketaatanmu pada mereka..”

     “Tapi gak mudah loh La, ngelepas orang yang kualitasnya sudah bagus hanya karena alasan orang tua yang menurut kita ndak logis..”

     “Bagusnya kualitas seseorang seringkali hanya ada di kata-kata orang. Nyatanya tidak demikian. Apalagi kau belum kenal betul sama perempuan itu..”

     “Tapi hipotesis sementara kan bisa benar, La. Apalagi yang bilang sudah banyak, dan itu semakin menguatkan hipotesis tentang kualitasnya yang bagus”

Kali ini aku diam. Ingatanku jadi terarah pada kisahku sendiri. Melepas orang yang kualitasnya sudah sangat bagus, tidak mudah La. Benar sekali Ran, kau sangat benar. Tidak pernah mudah melepas orang seperti itu, bagai telah mendapatkan burung emas yang langka dan berharga lalu terpaksa harus dilepas karena orang tua berkata tidak. 

     “Aku pernah di posisimu, Ran. Dan percayalah, lepaskan baik-baik dan kau akan mendapat pengganti yang lebih baik. Dan yang lebih baik belum tentu yang lebih mewah di mata orang-orang. Lalu berhentilah untuk mengharapkan apapun yang belum pasti jadi milikmu. Ah, sebenarnya di dunia ini kita tidak pernah memiliki apapun Ran. Ayah, mamak, kakak, bahkan diri kita sendiri. Kita tidak pernah berhak memilikinya...”

Aku hanya sedang menasehati diriku sendiri, sebenarnya. Lalu kulempar pandang ke luar jendela, tampak rintik mulai turun perlahan.

      “Ah ya, siapa namanya?”

     “Nama siapa?’                                                                    

     “Laki-laki yang pernah kau sukai itu?”

     “Oh, namanya Hujan”

     “Hujan?”

     “Iya, namanya Hujan”                                                     

     “Dan kau Bianglala, pelanginya”

Aku tertawa mendengar ucapan Ranting.

     “Sejak awal aku sadar, hujan dan bianglala tidak akan pernah bersatu. Bianglala selalu datang selepas hujan, bukan? Maka di waktu mana keduanya bertemu? Hahaha, tapi cinta memang selalu mengalahkan logika. Saat itu rasioku benar-benar kalah, Ran..”

     “Trus, kenapa kalian gak jadi?”

     “Selain karena jarak yang jauh, dia juga putra mahkota, anak dari seorang kiai yang sedang mengelola lembaga pesantren. Dia tidak mungkin dibawa ke sini, dan aku juga tak mungkin meninggalkan kedai ini. Ini adalah warisan satu-satunya keluarga, ini adalah wasiat terakhir ayah sebelum meninggal...”

Kali ini, aku yang bercerita dan Ranting menjadi pendengar setia.

     “Sejak awal kami sadar, kami tidak akan bersatu. Dan memang tidak mudah melepaskan orang yang kualitasnya bagus dan sangat kita sukai. Tapi percayalah Ran, orang tua selalu lebih penting dari apapun..”

     “Ya, aku percaya itu. Aku tidak akan pernah menggeser posisi mamak, La. Mamak tetap menjadi nomor satu..”

     Lalu kami sama-sama diam. Hening membekap suasana sedang rintik hujan semakin deras membasahi tanah. Kulihat ke seluruh arah, kedai sudah sepi dari pengunjung. Nanti malam biasanya baru ramai lagi, waktu anak-anak muda biasa nangkring atau mampir untuk berselfie sebentar.

“Ah ya, selepas dengan Hujan, apa yang kau lakukan untuk menyembuhkan lukamu?”

“Yah, aku sibukkan diri dengan berbagai kegiatan, Ran. Berharap aku akan bisa melupakannya. Tapi sekalipun disibukkan dengan ini itu, ingatan tentangnya tetap rajin bertandang ke halaman pikiranku. Harapan itu juga sesekali masih menyala walau ketika ingat ayah, aku harus segera memadamkannya dengan tega. Tak mudah, Ran. Sungguh. Hingga dalam waktu yang sangat lama, aku baru sadar. Aku hanya perlu berdamai dengan hatiku sendiri, tidak dengan melupakannya. Cukup lepaskan perlahan, tidak mengikatnya lagi di hatiku, dan lambat laun aku baru bisa berdamai, Ran. Lalu kuolah usahaku dengan doa, kalau memang dia bukan yang terbaik untukku, maka biar Allah langsung turun tangan menghapus perasaan ini dan menggantinya dengan yang terbaik..”

Ranting menatapku, takjub.

“Ada tips lagi?”

“Perbanyak sedekah, buang segenap perasaan dan harapan itu lewat uang atau barang yang disedekahkan ke orang lain..”

“Resep berikutnya?”

“Perbanyak silaturrahmi”

“Itu memang hobiku sejak remaja. Ada lagi?”

“Jangan gantungkan harapan dan perasaan lagi sebelum ia jelas menjadi jodohmu. Ah, untuk satu ini kau pasti sudah paham Ran. Kau telah mengalaminya berkali-kali..”

Kali ini Ranting tertawa.

“Kau sendiri tak pernah mengalaminya lagi, La? Hanya sekali?”

“Iya, hanya sekali dan aku tidak mau lagi. Sebenarnya beberapa laki-laki mendekatiku, bahkan ada yang sudah datang menemui ayah. Tapi aku tak pernah biarkan hatiku berharap apapun atau meletakkan perasaan pada siapapun sebelum ia jelas mengikatku dengan akad..”

“Ya, kau benar La. Berharap itu hanya menimbulkan kecewa. Pantas saja kau selalu bahagia dan tak pernah kecewa..”

“Hahaha, aku juga manusia Ran. Sering juga kebablasan..”

Lalu kulempar pandang ke luar jendela lagi dan beralih ke jam dinding kedai yang searah dengan pandanganku. Sudah jam empat ternyata, tak sadar sudah seharian kami menghabiskan waktu di kedaiku ini.                                                     

     “Sudah sore, kau tak pulang?”

     “Ah, ya! Terimakasih untuk telah menerima dan mendengar seluruh ceritaku La. Kedai ini benar-benar bisa menghibur hati yang terluka”

     “Halah, lebay sekali kau Ran! Sudah sana pulang, kelamaan di sini nanti lupa alamat pulang..”

Ranting tertawa kemudian bergegas pulang.

     Selepas kepergian Ranting, bayang laki-laki itu tiba-tiba hadir lagi. Laki-laki yang dulu juga suka sekali datang ke kedai ini lalu pergi dan tak kembali lagi. Laki-laki yang kerap kali menyisakan rindu yang berdentang berkali-kali.

     Ah, Hujan, bagaimana kabarmu sore ini?

...

     Ranting, saat ini aku melihat titik kecil cahaya di matanya, sepasang mata itu tampak seperti sejoli daun di taman yang berkilau oleh sinar matahari musim panas. Tidak seperti saat pertama kali ia datang ke kedaiku dengan tatapan yang sukar disimpulkan,  apakah tatapannya menyiratkan optimisme akan sebuah masa depan cerah, atau hanya kehampaan yang tak berpengharapan. Hingga akhirnya aku tahu makna tatapannya itu lewat ceritanya yang berhasil membuatku berubah-ubah ekspresi; tertawa atau sedih dalam waktu yang nyaris bersamaan.

     Ia dihadapkan pada beberapa harapan dalam dirinya sendiri. Mencoba untuk tidak berharap ketika sebuah harapan ditawarkan memang sangatlah tidak mudah. Seperti disuguhi makanan lezat, dalam keadaan perut keroncongan, namun kita dilarang memakannya sebelum memastikan makanan itu halal untuk kita makan. Maka entahlah bagaimana konsep khauf dan raja’ perihal sebuah harapan dan kekecewaan.

     Dan hari ini aku paham kenapa orang tuanya menamainya dengan Semesta Ranting Mustofa. Karena sesemesta apapun hidupnya, sehebat apapun karirnya, secerdas apapun otaknya, dia tetap hanyalah Ranting. Ranting yang lemah dan tidak kuat untuk digantungi apapun. Digantungi semacam harapan dan perasaan, hanya akan membuatnya patah berkali-kali. Maka jika ia berhasil menjadi Ranting yang baik, dilatih berkali-kali untuk tidak mengharap, untuk tidak menggantungi dirinya sendiri yang lemah, kelak ia akan menjadi manusia terpilih. Ia akan tangguh, karena hatinya telah lapang untuk menghadapi dan menerima apapun. Saat itu ia telah tahu, setiap harapan yang ada, gantungannya bukan ke dirinya yang lemah atau ke manusia lainnya yang tak kalah lemah, tapi ke Yang kuat. Pemilik segala!

     Hiks. Romantis sekali Allah mengajarinya untuk menjadi manusia yang terpilih... 

...

     Salah satu cara Allah mengajari kita untuk jadi manusia terpilih adalah dengan menjadi manusia yang sering dihinggapi kedatangan-kedatangan untuk kemudian harus siap dengan kepergian-kepergian. Dan kali ini aku dihidangkan pada kepergian seseorang yang selama ini kutemani di kedai kopi.

     Ya, Ranting! Sejak sore itu ia tidak lagi bertandang ke kedai ini. Aku menunggunya, setiap pagi. Sesekali menengok ke arah jalan berkelok depan rumah, barangkali sosoknya akan datang. Tapi nihil, tak lagi kulihat batang hidungnya di kedai. Sedang para pelanggan tetap ramai berdatangan, bahkan semakin ramai dari hari ke hari. Namun, tiba-tiba ada yang mendadak sepi. Kutatap pintu masuk, harap-harap dia datang lagi. Ingin sekali aku mendengar celotehannya setiap pagi, mendengar ceritanya yang sering membuatku tertawa sekaligus sedih, melihat raut wajahnya yang muram namun tetap bersahaja.

     Namun hingga berbulan-bulan, ia tak kunjung datang. Barangkali ia termakan saranku untuk meluangkan waktu buat me time atau bermeditasi di gua-gua atau di laut-laut atau di gunung-gunung tertinggi untuk melepaskan seluruh harapan yang memberati langkah dan hatinya.

     Aku mencoba menghubunginya dan berkali-kali aku melontarkan sms, namun tak ada satu pun yang dibalas.

     Kau di mana Ran? Ngopi di mana pagi ini?

     Kau baik-baik saja, kan?

     Mampirlah lagi ke kedaiku, kita bicarakan masa depan, jangan lagi yang sudah berlalu.

     Ran, kopi jahe itu kehilangan penyeduhnya, maukah kau kembali datang dan mampir sejenak?

     Hari ini kita punya produk kopi baru, biji kopi terbaik dari pegunungan Ijen. Kau pasti suka..

     Hei, kau pergi seenaknya tanpa bayar! Hutangmu numpuk Ran, bisa rugi lah aku kalau kau tak melunasinya.

     Ran, di mana pagi menyembunyikanmu? Kemarilah, berceritalah lagi padaku. Tentang apapun.

     Sialnya, tak ada satu pun sms yang berbalas. Barangkali Ranting merubah nomor handphonenya, akhirnya kuselosor setiap media sosial Ranting. Ah, tidak ada yang bernama Ranting. Aku lupa selama ini tidak pernah bertanya nama medsosnya. Kalau sudah begini, jejaknya benar-benar hilang tak terdeteksi. Barangkali Ranting benar-benar butuh sendiri. Dan aku semakin merasa sepi..

     Sepi, adakah obatnya? Atau aku sedang mengalami kehilangan. Kehilangan sebuah harapan dan kenyamanan. Harapan bahwa Ranting akan selalu menjadikanku teman curhatnya, harapan tentang kedatangan Ranting setiap pagi, harapan bahwa kita akan selalu berteman baik dan selalu bertemu setiap hari, harapan bahwa aku bisa menyembuhkan setiap lukanya, harapan..

     Hei, jangan-jangan aku jatuh ke jurang yang sama dengan Ranting. Aku menengok ke pedalaman hatiku, jangan-jangan di dalam sana ada harapan bahwa suatu hari nanti Ranting akan datang tidak lagi sebagai sahabat tapi sebagai laki-laki gagah yang datang menemui ibu untuk melamarku. Dan aku tak menyadari harapan itu yang ternyata terus tumbuh dari hari ke hari.

     Gila!

     Ternyata selama ini aku sedang menasehati diriku sendiri, setiap hari. Setiap kata yang kulontarkan pada Ranting adalah kata yang kulempar pada diriku sendiri.

     Hahaha, Ranting, kau hanya Ranting. Lemah. Manusia itu seperti Ranting, lemah. Jangan digantungi berbagai macam harapan, nanti ia akan sering patah..

     Hei, aku patah?

     Aku melongo, pandanganku menyusuri setiap kedai yang semakin ramai dari hari ke hari.

..

     Aku harus pergi dari sini. Berbulan-bulan sudah Ranting tak ada kabar, dan sepertinya aku butuh waktu untuk sendiri dulu. Kuserahkan urusan kedai ini pada sahabatku, Mei.

“Kau mau kemana, La?”

“Aku butuh me time bentar, titip kedai ini ya Mei. Insyaallah aku lekas kembali setelah semuanya berjalan normal”

“Lah, bukankah kamu sedang baik-baik saja, La?”

“Segala sesuatu tidak selalu sama dengan apa yang tampak di permukaan, Mei. Hehehe.. aku butuh hiburan, aku butuh sendiri dulu. Aku titip kedai ya..”

Selepas izin ke ibu dan juga Mei, aku cepat-cepat membereskan tas dan pergi meninggalkan sepi di kedai kopiku sendiri. 

...

     Aku tak perlu gunung, laut atau gua untuk bermeditasi. Aku hanya butuh rumah nenek di desa yang berhalaman sawah terbentang sejauh mata memandang. Di samping rumah kecilnya, ada musalla kecil tempat anak-anak mengaji. Kalau pagi, musalla itu sepi. Dan di sanalah aku meletakkan seluruh kepenatan hati. Nenek juga istikamah membangunkanku untuk salat malam. Aku jadi ingat kata almarhum ayah dulu:

     Salat malamlah, nak! Sungguh, tak ada ceritanya orang yang rajin salat malam disusahkan hidupnya dan disempitkan hatinya. Dan mintalah apapun yang kau mau, karena doa-doa di waktu itu bagai panah yang dilempar dari busurnya dan tepat mengenai sasaran..

     Ah, nasehat lama itu sudah lama kulupakan. Hiruk pikuk kota membuatku lupa untuk sekedar mengingatnya. Hiruk pikuk kehidupan, dunia, orang-orang, juga membuatku sering tak mendengar suara paling damai dari dalam hati.

     Sehari dua hari di rumah nenek barangkali aku belum sepenuhnya berdamai, namun hari-hari berikutnya adalah hari yang sangat lapang. Hampir setiap waktu aku habiskan untuk membantu nenek, apapun itu. Mulai berkebun, memasak, memberi makan ikan dan kucing, atau mengajar ngaji anak-anak kecil.

     Sebagaimana Hujan, aku melepaskan Ranting perlahan-lahan. Aku melepaskan hatiku dari berbagai harapan. Ranting tak akan datang lagi, dia pasti telah menemukan kisah barunya yang bahagia. Dia pasti telah berhasil mendamaikan hatinya dan Ranting tidak pernah butuh Bianglala. 

..

     La, kau di mana? Aku datang ke kedaimu, kata Mei kau pergi.

     Di suatu pagi, tiba-tiba saja sms dari Ranting datang. Tapi aku tak menghiraukannya. Aku takut berharap untuk bisa bertemu dengannya lagi. Toh belum tentu ada takdir kita bisa bertemu.

     La, maaf selama ini aku menghilang tanpa kabar. Aku hanya ingin menyendiri dulu dan memperbaiki diriku sebaik-baiknya. Aku malu selalu datang ke kedaimu dan menjadi laki-laki yang selalu patah hati. Sedang di hadapanku kau masih seperti perempuan pelangi, kau mampu memberi warna untuk sekitarmu, sedang aku tidak. Maka aku ikuti seluruh saranmu; aku pergi untuk membersihkan hatiku dari segala harapan selain kepadaNya. Aku perbanyak sedekah, aku kencangkan tali silaturrahmi, aku sibukkan diri dengan membantu kakak sepupuku untuk mengurus panti asuhannya, dan semua itu benar-benar membuatku bisa melupakan seluruh kecewa dan harapan yang selama ini memberati hatiku.

     Membaca sms panjang dari Ranting, mataku basah. Tapi aku tetap bersikukuh tidak membalas smsnya. Hingga beberapa hari kemudian, Ranting mengirim sms lagi.

     La, aku yakin ini nomor masih milikmu. Jika kau memang tidak berkenan menjawabnya, tapi semoga kau berkenan membacanya. La, ini aku Ranting, laki-laki yang terlalu rapuh untuk digantungi apapun. Allah memang selalu lebih kuat, dan manusia selalu paling lemah. Terimakasih untuk telah mengajariku teori itu. Barangkali aku memang telah sering berusaha, tapi aku lupa berdoa La. Aku lupa mengunci usahaku dengan doa sehingga seperti kapas beterbangan, usahaku seperti sia-sia. Tapi aku tak mau kalah, pada hakikatnya aku memang Ranting namun  jiwaku Semesta. Aku memiliki jiwa yang luas, yang tak mudah menyerah dan tak mudah terluka.

     Sebagai tanda ketidakmenyerahanku untuk hidupku, aku ingin mendatangi ibumu. Aku ingin melamarmu, La. Aku datang lagi, membawa harapan. Jika kau tidak percaya tentang harapan, aku masih percaya. Aku masih manusia, aku punya harapan, namun kali ini talinya kugantung langsung ke Allah, bukan ke manusia.

     Jika kau berkenan, pulanglah ke kedai hari minggu. Aku menunggu.

     Kali ini aku bergetar membacanya, Ranting datang lagi dan membawa kabar bahagia. Dia akan memenuhi harapanku yang perlahan kumusnahkan. 

     “Temui Ranting, La. Siapa tau ada jodoh..”

Kata nenek, selepas aku menceritakan perihal Ranting.

     “Tapi saya takut berharap, nek..”

     “La, jangan takut! Allah nyuruh kita untuk harap dan cemas, Raja’ dan khauf. Tidak hanya khauf saja. Sama seperti saat pertama kali kau menaiki kapal. Kau dibawa berlayar selama berjam-jam mengarungi lautan luas dan dalam. Ada harapan besar untuk sampai di seberang, namun kau juga melempar pasrah ketika gelombang menghantam berkali-kali. Kau berdoa tak henti-henti, mengiringi perjalanan kapal dengan pikiran yang kemana-mana; bagaimana kalau kapal tiba-tiba karam, bagaimana kalau mogok mendadak, bagaimana kalau tenggelam. Kau cemas, tapi kau juga punya harapan untuk sampai di seberang. Barangkali begitu konsep khauf dan raja’. Sebuah harap dan cemas yang berjalan beriringan..”

     Aku tetap tak bergeming. Aku takut kecewa, aku sungguh takut terluka. Kalau aku pulang, sama saja dengan menyambut harapan itu. Ah! Harapan!

     “Lah, jangan takut La. Ngarepnya ya sama gusti Allah toh nduk, jangan sama Ranting. Jangan sama manusia. La, kita ini manusia, jangan sepi dari harapan biar kita tetap hidup. Kau makan karena ngarep tetap hidup kan? Kamu datang ke rumah nenek karena ngarep bisa tenang.  Tapi kunci pentingnya, harapan itu harus digantung ke yang Semesta, biar ndak kecewa. Wes to nduk, sana pulang! Temui Ranting...”

     Demi mendengar nasehat nenek yang meneduhkan, akhirnya aku mau pulang ke kota. Nenek bilang aku harus punya harapan, tapi aku memilih untuk pulang tanpa harapan. Itu lebih aman dari pada punya harapan tapi salah gantungan, Hehehe..

...

     Sabtu sore aku telah tiba di kedaiku, disambut Mei dan Ibu di ruang depan. Ibu cerita kalau Ranting datang hendak melamar. Ish! Curang sekali laki-laki itu tidak meminta persetujuanku terlebih dahulu. Memang dia percaya kalau aku menerimanya?

“Tapi semua tetap tergantung kamu, nak..”

Begitu kata Ibu menanggapi pernyataan yang berkeliaran di otakku barusan.

 “Kalau ibu setuju, Lala juga setuju”

“Baiklah kalau begitu, besok pagi nak Ranting katanya mau ke sini. Kamu bicara sendiri sama orangnya..”

Aku hanya mengangguk. Dan sepanjang malam itu aku benar-benar dilingkup rasa deg-degan. Esok pagi, untuk pertama kalinya aku akan menemui Ranting tidak sebagai seorang sahabat tapi sebagai perempuan dan laki-laki. Jadi tak sabar menunggu pagi tiba! Hahaha..

....

Esoknya Ranting benar-benar datang ke kedaiku tepat jam enam pagi. Seperti biasa, aku mendatanginya dengan secangkir kopi jahe yang biasa ia pesan.

“Apa kabar tuan Ranting? Enak sekali datang tak dijemput pulang tak diantar lalu ngilang tiba-tiba..”

“Hahaha... khawatir atau rindu?”

“Haleh! Tak ada kamus itu di hidupku. Aku cuma takut kamu ndak bayar hutang yang numpuk segunung”

“Hahaha.. entar hutangnya satuin sama mas kawin aja ya La..”

Kini giliran aku yang tertawa, melepas ekspresi cemberut yang sengaja kubuat-buat.

“Gimana La?”

“Gimana apanya?”

“Hah, perempuan memang selalu begitu. Tak berani memulai atau pura-pura tidak tahu”

Aku tersenyum menanggapi guyonannya.

“Aku sih yang penting ibu setuju, toh kamu juga gak jelek-jelek banget”

“Hahaha.. dasar! Tetap aja kamu La..”

“Eh, tapi mamak setuju ndak?”

“Awalnya sih berat”

“Karena aku berantakan ya?”

“Hahahaha, langsung bisa ditebak! Pas aku bilang mau ngelamar kamu, ibu nanya: Lala yang mana, Ran? Yang punya kedai kopi itu? Yang anaknya berantakan?”

“Wah, berarti aku terkenal banget ya Ran? Padahal kayaknya mamak ndak pernah datang ke sini dan kita ndak pernah ketemu..”

“Jangan bangga dikenal berantakan La. Kalau aku sih mending gak terkenal..”

“Ya terserah kau lah, Ran! Eh, terus mamak bilang apa?”

“Mamak bilang gak ada stok yang lain ya Ran? Yah aku bilang gak ada mak, stok yang ada tinggal yang kayak gini..”

“Hahahaha, dasar kau Ran!”

“Tapi yang terpenting akhirnya mamak nerima La..”

“Tapi aku gak bisa pergi dari kedai ini, Ran..”

“Jarak rumah kita kan hanya dua kilometer, La. Kita bisa bolak-balik mendatangi kedai ini. Kau juga bisa memantaunya dari jauh saat kau tak ada di sini..”

Aku hanya manggut-manggut saja, setuju.

“Ah ya, kau dari mana La?”

Aku mengernyitkan dahi.

“Iya, kamu pergi kemana? Kata Ibu sama Mei, kamu udah hampir sebulan pergi”

“Oh, aku ke rumah nenek di Mamburit”

“Mamburit? Nama yang asing..”

“Hehehe, iya. Itu nama pulau, jaraknya jauh dari sini. Kalau mau ke sana harus menyeberangi dua lautan dulu. Pantainya bagus Ran, suatu hari nanti kau harus pergi ke sana!”

“Mana bagus sama Hawai?”

“Yah Mamburit lah..”

“Kok bisa?”

“Karena aku gak tahu Hawai, hehehe. Lagi pula Mamburit itu milik negri sendiri, bukan punya negri orang”

“Kamu sendirian ke sana?”

Aku mengangguk.

“Berani sekali kau La, katamu Mamburit jauh..”

“Ya elah Ran, negri ini sudah aman kecuali dari korupsi. Hehehe, lagi pula selalu ada orang baik sepanjang jalan. Aku juga gak bawa perhiasan dan uangku pas-pasan, jadi gak ada copet yang doyan. Walau perempuan wajahkku juga pas-pasan, jadi aman dari godaan..”

“Iya, tapi tetap harus hati-hati”

“Siap pak Bos! Eh, ngomong-ngomong kenapa kamu kepikiran buat ngelamar aku? Standar kamu sudah turun ya Ran? Memang di luar sana sudah ndak ada cewek-cewek kece lagi?”

“Hahaha, bukan gitu La. Kau memang tak secerdas dan secantik mereka. Kau benar-benar tak mewah di pandanga orang lain, tapi kau mewah di hatiku”

Mendengar ucapan Ranting, spontan tawaku pecah.

“Hahahaha, kesambet setan mana kamu Ran? Kok mendadak alay gitu?”

“Kenyataan ini, La. Lah, kamu bilang  sendiri gak penting mewah di pandangan orang, yang penting nyaman. Dan aku nemuin kenyamanan itu bareng kamu..”

Kali ini aku hanya manggut-manggut lalu mengalihkan pandangan ke arah kedai, sambil menyembunyikan merah di pipiku.

..

Dan baiklah, jodoh benar-benar tidak akan kemana. Harapan itu kembali menyala, di usiaku yang ke 23, aku akan memiliki pasangan hidup yang halal. Berbagai bayangan indah di masa depan sering terbayang. Bagaimana menikmati hari-hari pernikahan, melakukan semuanya serba berdua, mengurus kedai berdua, menikmati pagi hari sambil ngopi dan ngalur ngidul tentang apapun, melakukan perjalanan ke berbagai tempat bersama, berbagi cerita, berbagi kisah, hahaha..

     Indah sekali. 

     Hei, lihatlah, kembali kubiarkan hatiku dipenuhi bunga-bunga harapan.

     Dan waktu pernikahan tinggal tiga hari lagi dari tanggal yang telah direncanakan, undangan telah disebar sejak dua minggu yang lalu, teman-teman dan keluargaku ramai berdatangan untuk membantu persiapan pernikahan. Dan kulihat Ranting semakin gagah, dengan kerja kerasnya untuk mendekor seluruh tempat acara dan ngeformat rangkaian acara. Lihatlah keringat yang mengalir dari bilik dahinya, tiga hari lagi, aku akan menjadi orang yang pertama kali mengusap keringatnya.

     Mamak dan Ibu juga mulai akrab mempersiapkan berbagai jajanan atau hidangan untuk para undangan. Sedang aku sibuk mempersiapkan buah tangan, berupa bibit tanaman obat keluarga untuk setiap undangan. Ini ide kita berdua; aku dan Ranting. Dekor tempat juga dibuat seasri mungkin, memadukan konsep hijau alam dan kopi. Acara pernikahan kami juga diformat dengan berbagai rangkaian seperti bedah buku dan seminar tentang pernikahan dengan mendatangkan narasumber terkenal soal pernikahan, sebut saja kang Abay.

     Aku tak pernah sebahagia ini, sungguh.  Terlalu sempurna Allah merencanakan semuanya. Aku juga tak menyangka akan menjadi perempuan terakhir dalam kisah Ranting.

     Dan waktu berjalan semakin lambat, tinggal menunggu hitungan jam untuk bisa mengerti bagaimana cerita ini mengalir untukku. Hei, lihatlah, bunga-bunga harapan semakin mekar di hatiku yang subur..

     “Mei, bibit sawinya kau beli banyak kan?”

     “Iya, La. Tenang, semua undangan pasti kebagian..”

     Aku hanya tersenyum mendengar jawaban Mei. Dan semua orang semakin sibuk di H-3 menjelang pernikahanku dengan Ranting. Lihatlah Ranting, kita akan menjadi pasangan yang entah serasi atau tidak. Hahaha.. aku hanya membayangkan kita akan menikmati setiap momen bersama-sama. Kau bercerita apapun semaumu dan aku bisa berpendapat apapun semauku. Kita juga bisa bekerjasama dengan baik, aku yang cuci pakaian kau yang jemur. Aku memasak, kau cuci piring. Aku menyapu, kau mengepel. Kau perbaiki atap rumah nanti, aku sibuk mempersiapkan makanan untukmu. Kalau ada kabel yang tidak beres, kau yang perbaiki, aku yang berdoa. Hahaha..

     Membayangkannya saja indah, apalagi jika menjalaninya. Dan kau sepakat untuk bekerjasama. Kita sepakat membangun rumah tangga bersama-sama. Aku tidak lelah sendirian mengurus rumah, karena ada kau yang akan setia membantu. Ah, Ranting! Lihatlah, bunga-bunga harapan semakin mekar di hatiku yang subur..

     Dan waktu berjalan entah semakin cepat atau semakin lambat.

     Dan seperti bidadari, aku berdiri di tengah-tengah mereka yang sibuk mempersiapkan ini itu dengan senyum sumringah. Eh, tapi tidak ada bidadari yang berpakaian sekumuh ini dan nyeka keringat sendiri. Hahaha, tak apa lah, aku akan jadi bidadari Ranting saja. Ranting, iya Ranting. Lihatlah, sejak kemarin ia disibukkan dengan mendekor ruangan yang belum sempurna selesai.

     “La, bagusnya lili ini ditaruh pintu masuk atau dalam ruangan”

     “Di pintu masuk saja, Ran. Tapi sisakan sedikit untuk dekor ruangan..”

Ranting mengangguk saja lalu kembali bekerja. Kami memang sudah biasa sharing ide dan ini sangat bagus untuk perjalanan rumah tangga nanti. Sistem musyawarah harus diterapkan untuk setiap keputusan, sekecil apapun. Duh Allah, Engkau benar-benar terlalu baik. Mengganti sosok Hujan dengan sosok Ranting yang tak kalah hebat. Setidaknya hebat untuk membuatku merasa nyaman bersamanya.

     “Nak, undangan juga disuguhi kopi kan?”

Tergesa-gesa, ibu mendatangiku dari arah dapur.

     “Enggeh bu, tapi dibuat prasamanan saja. Jadi nanti kita persiapkan berbagai macam kopi, biar undangan pilih sendiri mau kopi yang mana..”

     Demikianlah, dan waktu berjalan entah semakin cepat atau semakin lambat. Sedang bunga-bunga harapan itu dengan cepatnya mekar dan mengakar di hatiku. Aku lupa, suatu ketika ia akan layu. Aku lupa untuk menggantungkannya pada Yang kuat. Aku biarkan saja berbagai kemungkinan indah yang merayapi pikiranku beberapa hari terakhir ini. Aku sungguh lupa teori Ibnu Athaillah bahwa

سوابق الهمام لا تخترق القدر

Harapan yang menggebu-gebu tidak akan mampu merobohkan takdirNya.

Aku benar-benar melupakan banyak hal. Aku hanya sedang bahagia melihat Ranting dan seluruh orang di sini.                                                   

     “Nak..”

     “La..”

     Ibu dan Ranting memanggilku bersamaan, dan tak perlu menunggu hitungan menit untuk melihat hal paling menyedihkan di hidupku itu terjadi.

     Bruk!

     Ranting yang berada di atas tangga setinggi dua meter berikut tangga itu jatuh tepat di depan mataku menimpa banyak hal termasuk ibu. Harapan, mimpi, keinginan, rencana, semuanya pecah tiba-tiba. Dan demi melihat darah yang berceceran, pikiranku semakin kacau.

     Aku gemetar, ada yang tercekat, ada yang tak mampu kuungkap walau sekedar desah. Lihatlah, bagaimana kemudian Bianglala menghadapi bunga-bunga harapan yang dibiarkannya mengakar selama ini. Lihatlah bagaimana Allah memberinya cerita sedemikian rupa..

     Dan entahlah, setelah peristiwa itu terjadi aku tak tau apakah ibu dan Ranting masih hidup atau tidak.

     Yang kutau setelah itu, bunga-bunga yang selama ini mengakar kuat, yang kusiram setiap hari di hatiku, layu perlahan dan menjadi duri di hatiku sendiri...

     Dan setelah itu, aku sudah tidak ingat apa-apa lagi.





                                                                        Bondowoso, 23 Maret 2018


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kusebut Ia, Puisi

 1- Timbul tenggelam  Kadang dekat, kadang lupa pulang Tapi kau selalu setia, Menungguku datang. 2- Tanamlah aku, Sebagai manusia Yang berhak tumbuh Bersama usia Tanamlah aku, Sebagai Ibu Meski berlumur lumpur Doanya melesat menembus waktu Tanamlah aku, Sebagai warga Yang tak punya daya, Kecuali suara Kutanam diriku: Sebagai hamba yang tak punya apa Kecuali Dia. 3- Aku pulang,  Pada rumah bernama puisi Tempatku menemukan diri. 4- Pergi aku jauh, Seperti harapmu: mencari ilmu Selain koper dan ransel, Aku juga melipatmu rapi, dalam dada. Tapi rindu sering datang, membuatnya berantakan. Pergi aku jauh,  Kusangka ranselku berat  Oleh buku dan baju  Ternyata aku juga, Membawa berton-ton rindu yang kerap memberati langkahku. (Bandung yang dingin, di suatu Mei) 5- Enam menuju tujuh Cinta itu terus tumbuh Merona di kala dekat Rindu di kala jauh, Dan di dekatmu: waktu melesat seperti kilat Di jauh: ia terseok menempuh punggung hari, seperti rayap Enam menuju tujuh M...

Kala Tubuh Minta Rehat

Catatan Hari Ini 📝✨ Semalam aku udah tekad banget buat nyelesain tugas presentasi genderku bakda subuh. Tapi naas! 🥲 Begitu bangun pagi tadi, kepala langsung puyeng bukan main. Kupakai koyok seperti biasa, terus kupaksa keluar cari angin dan sinar matahari sekalian beli lauk buat sarapan. Biasanya sih, kalau pusing palingan bentar doang, trus sembuh. Apalagi pagi ini ada Pak Lukman Saifuddin ngisi kuliah. Aku pikir, ya udah, rebahan sebentar, nanti juga kuat ikut kuliah beliau. Tapi ternyata, sampai balik ke kamar, pusing makin menjadi. Makan gak enak, mulut pahit banget. Kepala nyut-nyutan—kadang depan, kadang belakang, kanan-kiri pun ikut-ikutan. Nggilaaaaa 😵‍💫 Oke, fine. Aku butuh tidur. Mungkin siangan bisa kerjain tugas presentasi gendernya. Gak papa deh gak ikut kuliah Pak Lukman, yang penting cepat pulih dan bisa fokus. Pas temen-temen pada berangkat kuliah, Yaya—yang biasanya ogah-ogahan—malah ngajakin kuliah: “Miiiii, ayo kuliah, itu mbak-mbak udah berangkat.” “Aduh ...