“Ranting”
Author
: Fina Laila
Ia
hanya setangkai Ranting,
jangan digantungi harapan atau perasaan,
nanti bisa terluka dan patah...
Kepada
:
Yth.
Sahabat
saya, seluruh manusia se- dunia.
Hanya kau yang boleh menyakiti
dirimu sendiri,
tidak orang lain atau keadaan
di luarmu.
Maka barangkali keadaan tidak
baik-baik saja,
tapi pastikan hati dan jiwamu
baik-baik saja.
Ranting!
Hei, perkenalkan, namaku
Bianglala, bisa dipanggil Lala atau Bianglala. Asal jangan Biangkerok! Dan dia
yang duduk di depanku saat ini adalah sahabat baruku. Namanya Semesta Ranting
Mustofa. Sungguh! Katanya itu nama asli yang tertera di ijazahnya sejak TK
hingga SMA. Kutengok KTPnya juga memang namanya begitu, tidak kurang tidak
lebih. Aneh sekali. Apalagi nama panggilannya, Ranting. Hahaha..
Ah ya, sebagai mahluk tukang ramal, aku
biasa menebak filosofi dari sebuah nama. Em, nama Semesta, semua orang tentu
tau makna di balik nama itu. Semesta adalah nama yang mencakup seluruh alam dan
isinya. Berat sekali menyandang nama semegah itu, tapi anehnya nama semegah
Semesta bersanding dengan nama selemah Ranting. Maka biarlah kedua nama itu
berpadu, dan aku tak pernah bertanya kenapa orang tuanya dulu memberi dua nama
aneh itu. Yang bisa kutebak dengan baik hanya nama belakangnya saja, Mustofa.
Berasal dari bahasa Arab yang bermakna terpilih. Manusia yang terpilih karena
usahanya sendiri, tidak serta merta langsung anugerah dari Allah. Kalau yang
terpilih karena langsung anugerah Allah tanpa usaha, bukan Mustofa namanya tapi
Mujtaba. Dan itu nama tetanggaku. Eh! J
Lalu, nama panggilan Ranting itu loh yang
tak habis kupikir. Lah, kalau tidak dipanggil Ranting, lalu dipanggil siapa?
Semes? Ah, jangan! Nanti menyerupai teknik permainan olahraga volly, smash.
Atau Tata? Ya elah, itu nama perempuan. Em, bagaimana kalau Mus? Nanggung
sekali. Atau Tofa? Bisa jadi. Tapi itu berimplikasi pada kebiasaan suka travel
alias jalan-jalan. Lah, Tofa itu artinya kan mengembara. Hahaha, baiklah, nama
paling aman untuk sementara ini tetap Ranting. Iya, namanya Ranting. Panggil
saja Ran, biar sedikit lebih keren.
Dan lihatlah, sepagi ini dia telah
bertandang ke kedai kopi milikku. Sudah hampir seminggu dia biasa nongkrong di
sini. Sejak awal aku melihatnya, ia datang sebagai laki-laki yang hidup dengan
suara-suara masa lalu yang kelam dan menyedihkan. Hatinya seperti
diluluhlantakkan berkali-kali. Berkali-kali ia jatuh cinta, namun berkali-kali
juga ia gagal. Orang yang ia cintai, hanya berakhir sebagai sahabat atau teman
dekat. Demikian katanya, saat memulai cerita padaku tempo hari.
“Jangan terjebak dalam kemuraman..”
Ujarku, saat pertama kali menyapanya sambil
menyodorkan segelas kopi yang ia pesan, lalu aku memilih duduk di hadapan
wajahnya yang muram. Kemudian kami berkenalan sebagai manusia, sebagai pemilik
kedai dengan pelanggannya, sebagai sesama warga negara Nusantara, sebagai
saudara seagama, tidak sebagai laki-laki dengan perempuan. Aku membaca dan
menyangka bahwa dia sudah tidak tertarik lagi pada perempuan. Keadaan tersebut
semakin membuatku leluasa untuk menjadi teman dekatnya. Setidaknya kami tidak
akan saling jatuh cinta.
“Kau pernah jatuh cinta?”
Ia
bertanya begitu saja padaku dan segera kujawab dengan anggukan pelan.
“Pernah, sekali. Kau?”
“Aku juga jatuh cinta hanya sekali.
Selebihnya hanya perasaan biasa saja. Tapi aku sudah kecewa berkali-kali..”
“Hahahaha..kok bisa?”
Dan
dengan suara letih ia mulai bercerita.
...
Dalam hidupnya, ia memiliki mamak terhebat
sedunia. Seluruh nafas, seluruh arah, seluruh tujuan, seluruh restu, seluruh
bahagia, seluruh cerita, seluruh yang ia miliki adalah tentang mamak dan
abailah surga yang dikata orang-orang. Ia sudah terlalu bahagia berada di
surganya sendiri; bersama mamak. Kegagahannya sebagai laki-laki hancur lebur di
hadapan mamak. Mamak adalah tempat ia pulang ketika kehidupan semakin terik
atau terlalu ‘hujan’. Sebagai laki-laki dia juga pernah letih, namun beri saja
secangkir celoteh mamak, ia langsung bugar bak kembang mawar baru disiram hujan.
Dan mamak adalah alasan untuk segala alasan dari seluruh perbuatannya. Ranting
benar-benar yakin, Allah menitipkan surgaNya dalam diri mamak.
Ia hidup dalam keluarga terlalu
berkecukupan. Seluruh urusan hidupnya seperti pendidikan, ekonomi, keluarga,
karir semuanya berjalan baik-baik saja. Namun tidak dengan hubungan, dia merasa
terlalu rumit menjalani persoalan satu itu.
Soal hubungan, ia pernah benar-benar jatuh
cinta pada seorang perempuan. Namanya Aurora, panggilannya Rara. Nama sefeminim
itu sebenarnya tidak mewakili kepribadiannya yang tomboi. Dan pada Rara itu lah
ia melabuhkan hatinya sungguh-sungguh, untuk masa depannya.
Hampir empat tahun mereka menjalin
hubungan, sebagai orang dekat yang saling merasakan kenyamanan; saling tukar
cerita dan berbagi kisah juga luka. Empat tahun, dan semuanya mengalir
sebagaimana biasa. Perasaan itu juga dibiarkannya mengalir, mereka tidak
menamainya sebagai sebuah hubungan semacam pacaran dan lainnya. Hanya sebuah
rasa nyaman yang menghubungkan Ranting dan Rara selama empat tahun. Rasa nyaman
itu ingin dibawanya ke masa depan, maka Ranting memberanikan diri mengajukan
Rara pada mamak.
Sayang beribu sayang, mamak tak restu.
Jarak rumahnya terlalu jauh, Rara juga bukan tipe perempuan yang mamak
harapkan, bukan perempuan anggun, manis, solehah dan semacamnya. Ah, kalau tak
jodoh memang tak perlu berbagai macam alasan. Mudah sekali Allah memisahkan dua
orang yang tak ditakdirkan bersama, sebesar apapun cinta keduanya. Dan Ranting
juga Aurora harus menghadapi episode luka mereka. Barangkali sama denganku saat
mencintai sosok bernama Hujan, laki-laki yang datang dengan sangat indah dan
menakjubkan. Semua harapan dan perasaan terlanjur tumbuh mengakar, namun restu
orang tua menjadi tembok tertinggi yang tak bisa dilompati. Ayahku tak setuju,
karena jarak yang terlalu jauh dan berbagai macam alasan lainnya. Tapi tetap
saja ada yang bergejolak dan untuk pertama kalinya aku benar-benar keras
kepala. Perasaan dan harapan itu meruntuhkan rasioku. Bagai tak ada cerita
bahagia lagi selain bersamanya. Hahahaha, dan aku yakin Ranting juga Aurora
sedang merasakan hal semacam itu. Tak mudah memang, tapi waktu itu ia percaya
bahwa ia bisa berdamai dengan hatinya.
Beberapa tahun berlalu, saat itu ia
fokuskan diri untuk menyelesaikan kuliah. Tak ada lagi cerita tentang perempuan
dalam hidupnya, toh kalau pun ada ia tak lagi mudah meletakkannya di hati. Ia
benar-benar trauma untuk jatuh cinta lagi. Hingga beberapa waktu kemudian,
seorang sahabatnya mengenalkannya pada saudara perempuannya. Sosok gadis yang
cantik jelita dan cerdas! Namanya Nadine. Lengkapnya, Siti Nadine.
Harapan tentang sebuah hubungan kembali
menyala di diri Ranting. Ia akan segera mendapatkan menantu idaman mamak.
Perasaan dan harapan itu kembali bermekaran di hati Ranting. Walau sisa-sisa
perasaan pada Aurora masih ada, tapi ia tidak ingin terjebak masa lalu. Ia tak
ingin membutakan rasionya sendiri.
Dan perasaan itu bersambut, Nadine menerima
tawaran ta’arrufnya. Ranting pun mulai berkenalan dengan Nadine dan dalam
jangka waktu yang tak lama keduanya merasa ada kecocokan. Ranting percaya, kali
ini mamak pasti setuju. Lihatlah, Nadine adalah gadis cerdas, cantik, solehah
dan anggun. Ia juga organisatoris, perempuan yang melibatkan dirinya untuk
aktif di berbagai kegiatan. Ranting benar-benar menaruh harapan besar untuk
gadis satu ini. Dan percaya sekali ia kalau mereka akan berjodoh.
Tak butuh waktu lama untuk mengenalkan
Nadine pada Mamak. Dan benar dugaannya, mamak sangat setuju jika Nadine menjadi
menantu mamak. Namun, sekali lagi, jodoh adalah perkara paling rahasia yang tak
mudah diterka. Setelah beberapa waktu kedekatan mereka terjalin, menumbuhkan
harapan dan perasaan yang tumbuh mengakar di hati keduanya, namun sayang
berkali sayang, Nadine dijodohkan dengan laki-laki pilihan bapaknya.
Sebagaimana mamak dalam kehidupan Ranting, bagi Nadine bapaknya jua adalah
segala alasan untuk setiap perbuatan dan pilihannya. Maka demikianlah cerita
kembali bergulir menyakitkan. Ranting harus merelakan Nadine. Dan ia harus
menghadapi episode kecewanya yang kedua.
Tapi dia tidak pernah berhenti percaya, ia
yakin akan ada pengganti terbaik dari Aurora atau pun Nadine. Ia benar-benar
harus menemukan pengganti untuk membayar rasa kecewanya selama ini. Dan tak
perlu menunggu lama, harapan itu terkabul dengan kehadiran gadis solehah yang
tak kalah pintar dari Nadine. Mamak langsung yang mengenalkannya pada Ranting.
Mamak setuju, keluarganya setuju, gadis itu atau pun dirinya juga setuju. Kali
ini, Ranting yakin sasarannya tidak akan melesat. Ia juga telah memastikan
bahwa gadis itu tidak sedang atau akan dijodohkan dengan laki-laki lain.
Setelah mamak datang ke rumah si gadis,
sekarang giliran Ranting yang langsung datang menemui gadis itu. Ah ya, namanya
Aisyah kalau tidak salah. Dan sejak itu mereka pun berta’arruf. Tapi kau
tahu bukan bahwa mauNya itu tidak pernah diterka? Menggebu-gebulah kau berharap
pada seseorang atau keadaan, hahahaha, dan Dia akan dengan mudah mematahkan
harapan hambaNya. Dengarlah cerita Ranting, kali ini ia harus benar-benar
menerima kenyataan, ia kembali menghadapi episode kecewanya. Episode kecewa
yang ketiga! Karena nyatanya, sebelum ia datang melamar, sudah ada laki-laki
yang terlebih dulu melamar Aisyah. Sebenarnya Aisyah belum memberinya jawaban,
tapi Ranting memilih mundur. Secara
hukum Islam barangkali ia tidak bersalah jika melamar Aisyah, karena toh
Aisyah belum memberikan jawaban pada laki-laki pertama yang melamar. Tapi tetap
saja, ada yang menggelisahkan di hati Ranting. Apalagi mamak juga memintanya
untuk menggagalkan lamaran itu.
Untuk kali ini ia telah dikecewakan oleh
rasa percaya, harapan dan khayalan. Dia telah menghancurkan keinginan, membunuh
rasa percaya diri, memusnahkan cinta, menghancur-leburkan pemujaan terhadap
wanita, membangun tonggak-tonggak keraguan bahwa dunia tak pernah bisa
dikenali. Ia benar-benar letih, namun mamak selalu menyemangati.
Ah, mamak. Perempuan nomor satu dalam hidupnya,
sosok yang tak pernah mengecewakannya bahkan justru membayar seluruh kecewa di
hidupnya. Ah, mamak. Lihatlah, walau usianya hampir menggapai lima puluh, tapi
gaya dan penampilannya seperti anak muda umur dua puluh tahunan. Cara bicara
dan semangatnya juga melebihi anak muda seusia Ranting.
Maka, demi melihat senyum dan harapan
mamak, Ranting tidak menyerah. Ia kemudian berkenalan dengan perempuan cantik,
putih dan lagi-lagi tak kalah cerdas dengan perempuan-perempuan sebelumnya.
Ranting yakin ini adalah perempuan terakhir. Ia percaya Allah telah lelah
mengujinya berkali-kali dengan rasa kecewa. Mulai dari Aurora, Nadine hingga
Aisyah. Dan percaya sekali Ranting, bahwa Maryam, nama gadis kali ini adalah
perempuan terakhir dalam pengembaraannya.
“Lalu, bagaimana? Mamak setuju kan sama
Maryam?”
Aku menyela dengan pertanyaan ketika
Ranting bercerita tentang Maryam. Dan entahlah ini sudah hari ke berapa sejak
pagi itu, sejak kami saling berkenalan di kedai kopi ini. Juga sudah berapa
puluh gelas kopi menemani perbincangan kita. Aku menghasudnya bahwa kopi bisa
menyembuhkan luka. Hahaha, entah teori dari mana. Tapi mau saja Ranting
percaya, ia terus saja datang ke kedai ini dan memesan kopi setiap pagi. Dan
seperti biasa, aku akan menemani sahabat baruku ini bercerita atau berceloteh
tentang apapun.
“Mamak sangat setuju, La. Tapi, Ibu Maryam
yang tak setuju..”
Jawab
Ranting dengan nada lesu. Tawaku spontan pecah tak tertahan.
“Hahaha, kasihan sekali nasibmu Ran!”
“Dasar kau La, malah ketawa! Yah, tapi memang beginilah laki-laki, harus siap-siap
kecewa dan patah hati”
Aku hanya tersenyum mendengarnya sambil
menyodorkan kopi kayu mas, yang baru saja diolah oleh sahabatku, Mei.
“Kau minumlah kopi ini, kemarin kopi ini
baru memenangkan juara kopi terbaik se Nusantara dan sekarang ia menjadi icon
kota ini. Barangkali kopi ini bisa menghibur rasa kecewamu, Ran...”
Ranting menerima tawaranku, diseduhnya kopi
kayu mas itu pelan.
“Belum pernah aku minum kopi senyaman ini,
La..”
“Ya, itu memang produk unggulan kami saat
ini. Bijinya langsung dipetik dari pegunungan Kayu Mas, di Arjasa. Ah ya, kau
tahu daerah itu?”
Ranting
menggeleng.
“Wah, sebagai traveller belum
lengkap rasanya kalau kau belum mendatangi daerah itu, Ran..”
“Dimana letaknya?”
“Dari kecamatan Arjasa, kau masuklah ke
arah selatan, di sana sudah ada panah menuju perkebunan kopi kayu mas. Jaraknya
sekitar 30 KM dari kecamatan..”
Ranting
hanya mengangguk. Lalu kita kembali bercerita tentang apapun.
“Sebenarnya ada lagi La..”
“Ada lagi apa?”
“Perempuan”
“Hahaha, jangan banyak-banyak Ran! Semakin
banyak, semakin kecewa kau..”
“Yah, namanya juga masa pencarian La..”
“Oh, iya iya. Em, siapa namanya?”
“Namanya Queen. Kalau kau jadi laki-laki,
kau juga pasti naksir sama dia..”
“Hahaha, kok bisa?”
“Cerdas dan cantik, La!”
“Yang kemarin-kemarin kan juga cerdas dan
cantik, Ran..”
“Tapi dia juga perempuan yang sangat baik
dan bertalenta. Semua orang mengaguminya, La...”
“Kau mengenalnya?”
“Tidak, aku hanya mengenalnya lewat
teman-teman”
“Hahaha, kamu ini aneh Ran. Bagaimana
mungkin perkataan orang kau jadikan pegangan”
“Firasat saja, La..”
“Haleh, nikah tuh sama firasat! Eh, tapi
mamak sudah tahu belum?”
“Sudah, dan masalahnya mamak tak setuju”
“Hahahaha....”
“Kamu tertawa terus, La. Kenapa memang?”
“Ceritamu itu loh Ran, selalu gagal
maning gagal maning..”
Ranting
ikut tertawa melihatku tertawa. Diseduhnya lagi kopi kayu mas sampai habis.
“Eh, memang kenapa mamak gak setuju?”
“Anaknya apatis, agak cuek gitu La..”
Aku
tertawa lagi, tak terhitung untuk yang keberapa kalinya. Baru kali ini aku
memiliki pelanggan dengan tingkat patah hati yang tinggi.
“Entahlah La, bagaimana mau mamak. Aku rasa
itu bukan alasan yang logis, lah manusia kan bisa berubah La..”
“Barangkali itu bukan alasan yang logis
untukmu, Ran. Tapi firasat seorang ibu itu lebih tajam loh..”
“Itu yang tak bisa aku mengerti sampai saat
ini”
“Yah, bisa jadi bagi kita alasan orang tua
tidak pernah logis. Tapi itu tidak pernah penting, Ran. Almarhum ayahku pernah
bilang: Allah tidak pernah memperhatikan kelogisan alasan orang tua, Allah
hanya memperhatikan ketaatanmu pada mereka..”
“Tapi gak mudah loh La, ngelepas orang
yang kualitasnya sudah bagus hanya karena alasan orang tua yang menurut kita ndak
logis..”
“Bagusnya kualitas seseorang seringkali
hanya ada di kata-kata orang. Nyatanya tidak demikian. Apalagi kau belum kenal
betul sama perempuan itu..”
“Tapi hipotesis sementara kan bisa benar,
La. Apalagi yang bilang sudah banyak, dan itu semakin menguatkan hipotesis
tentang kualitasnya yang bagus”
Kali
ini aku diam. Ingatanku jadi terarah pada kisahku sendiri. Melepas orang
yang kualitasnya sudah sangat bagus, tidak mudah La. Benar sekali Ran, kau
sangat benar. Tidak pernah mudah melepas orang seperti itu, bagai telah
mendapatkan burung emas yang langka dan berharga lalu terpaksa harus dilepas
karena orang tua berkata tidak.
“Aku pernah di posisimu, Ran. Dan
percayalah, lepaskan baik-baik dan kau akan mendapat pengganti yang lebih baik.
Dan yang lebih baik belum tentu yang lebih mewah di mata orang-orang. Lalu
berhentilah untuk mengharapkan apapun yang belum pasti jadi milikmu. Ah,
sebenarnya di dunia ini kita tidak pernah memiliki apapun Ran. Ayah, mamak,
kakak, bahkan diri kita sendiri. Kita tidak pernah berhak memilikinya...”
Aku
hanya sedang menasehati diriku sendiri, sebenarnya. Lalu kulempar pandang ke
luar jendela, tampak rintik mulai turun perlahan.
“Ah
ya, siapa namanya?”
“Nama siapa?’
“Laki-laki yang pernah kau sukai itu?”
“Oh, namanya Hujan”
“Hujan?”
“Iya, namanya Hujan”
“Dan kau Bianglala, pelanginya”
Aku
tertawa mendengar ucapan Ranting.
“Sejak awal aku sadar, hujan dan bianglala
tidak akan pernah bersatu. Bianglala selalu datang selepas hujan, bukan? Maka
di waktu mana keduanya bertemu? Hahaha, tapi cinta memang selalu mengalahkan
logika. Saat itu rasioku benar-benar kalah, Ran..”
“Trus, kenapa kalian gak jadi?”
“Selain karena jarak yang jauh, dia juga
putra mahkota, anak dari seorang kiai yang sedang mengelola lembaga pesantren.
Dia tidak mungkin dibawa ke sini, dan aku juga tak mungkin meninggalkan kedai
ini. Ini adalah warisan satu-satunya keluarga, ini adalah wasiat terakhir ayah
sebelum meninggal...”
Kali
ini, aku yang bercerita dan Ranting menjadi pendengar setia.
“Sejak awal kami sadar, kami tidak akan
bersatu. Dan memang tidak mudah melepaskan orang yang kualitasnya bagus dan sangat
kita sukai. Tapi percayalah Ran, orang tua selalu lebih penting dari apapun..”
“Ya, aku percaya itu. Aku tidak akan pernah
menggeser posisi mamak, La. Mamak tetap menjadi nomor satu..”
Lalu kami sama-sama diam. Hening membekap
suasana sedang rintik hujan semakin deras membasahi tanah. Kulihat ke seluruh
arah, kedai sudah sepi dari pengunjung. Nanti malam biasanya baru ramai lagi,
waktu anak-anak muda biasa nangkring atau mampir untuk berselfie sebentar.
“Ah ya,
selepas dengan Hujan, apa yang kau lakukan untuk menyembuhkan lukamu?”
“Yah,
aku sibukkan diri dengan berbagai kegiatan, Ran. Berharap aku akan bisa
melupakannya. Tapi sekalipun disibukkan dengan ini itu, ingatan tentangnya
tetap rajin bertandang ke halaman pikiranku. Harapan itu juga sesekali masih
menyala walau ketika ingat ayah, aku harus segera memadamkannya dengan tega.
Tak mudah, Ran. Sungguh. Hingga dalam waktu yang sangat lama, aku baru sadar.
Aku hanya perlu berdamai dengan hatiku sendiri, tidak dengan melupakannya.
Cukup lepaskan perlahan, tidak mengikatnya lagi di hatiku, dan lambat laun aku
baru bisa berdamai, Ran. Lalu kuolah usahaku dengan doa, kalau memang dia bukan
yang terbaik untukku, maka biar Allah langsung turun tangan menghapus perasaan
ini dan menggantinya dengan yang terbaik..”
Ranting
menatapku, takjub.
“Ada
tips lagi?”
“Perbanyak
sedekah, buang segenap perasaan dan harapan itu lewat uang atau barang yang
disedekahkan ke orang lain..”
“Resep
berikutnya?”
“Perbanyak
silaturrahmi”
“Itu
memang hobiku sejak remaja. Ada lagi?”
“Jangan
gantungkan harapan dan perasaan lagi sebelum ia jelas menjadi jodohmu. Ah,
untuk satu ini kau pasti sudah paham Ran. Kau telah mengalaminya
berkali-kali..”
Kali
ini Ranting tertawa.
“Kau
sendiri tak pernah mengalaminya lagi, La? Hanya sekali?”
“Iya,
hanya sekali dan aku tidak mau lagi. Sebenarnya beberapa laki-laki mendekatiku,
bahkan ada yang sudah datang menemui ayah. Tapi aku tak pernah biarkan hatiku
berharap apapun atau meletakkan perasaan pada siapapun sebelum ia jelas
mengikatku dengan akad..”
“Ya,
kau benar La. Berharap itu hanya menimbulkan kecewa. Pantas saja kau selalu
bahagia dan tak pernah kecewa..”
“Hahaha,
aku juga manusia Ran. Sering juga kebablasan..”
Lalu
kulempar pandang ke luar jendela lagi dan beralih ke jam dinding kedai yang
searah dengan pandanganku. Sudah jam empat ternyata, tak sadar sudah seharian
kami menghabiskan waktu di kedaiku ini.
“Sudah sore, kau tak pulang?”
“Ah, ya! Terimakasih untuk telah menerima
dan mendengar seluruh ceritaku La. Kedai ini benar-benar bisa menghibur hati
yang terluka”
“Halah, lebay sekali kau Ran! Sudah sana
pulang, kelamaan di sini nanti lupa alamat pulang..”
Ranting
tertawa kemudian bergegas pulang.
Selepas kepergian Ranting, bayang laki-laki
itu tiba-tiba hadir lagi. Laki-laki yang dulu juga suka sekali datang ke kedai
ini lalu pergi dan tak kembali lagi. Laki-laki yang kerap kali menyisakan rindu
yang berdentang berkali-kali.
Ah, Hujan, bagaimana kabarmu sore ini?
...
Ranting, saat ini aku melihat titik kecil
cahaya di matanya, sepasang mata itu tampak seperti sejoli daun di taman yang
berkilau oleh sinar matahari musim panas. Tidak seperti saat pertama kali ia
datang ke kedaiku dengan tatapan yang sukar disimpulkan, apakah tatapannya menyiratkan optimisme akan
sebuah masa depan cerah, atau hanya kehampaan yang tak berpengharapan. Hingga
akhirnya aku tahu makna tatapannya itu lewat ceritanya yang berhasil membuatku
berubah-ubah ekspresi; tertawa atau sedih dalam waktu yang nyaris bersamaan.
Ia dihadapkan pada beberapa harapan dalam
dirinya sendiri. Mencoba untuk tidak berharap ketika sebuah harapan ditawarkan
memang sangatlah tidak mudah. Seperti disuguhi makanan lezat, dalam keadaan
perut keroncongan, namun kita dilarang memakannya sebelum memastikan makanan
itu halal untuk kita makan. Maka entahlah bagaimana konsep khauf dan raja’
perihal sebuah harapan dan kekecewaan.
Dan hari ini aku paham kenapa orang tuanya
menamainya dengan Semesta Ranting Mustofa. Karena sesemesta apapun hidupnya,
sehebat apapun karirnya, secerdas apapun otaknya, dia tetap hanyalah Ranting.
Ranting yang lemah dan tidak kuat untuk digantungi apapun. Digantungi semacam
harapan dan perasaan, hanya akan membuatnya patah berkali-kali. Maka jika ia
berhasil menjadi Ranting yang baik, dilatih berkali-kali untuk tidak mengharap,
untuk tidak menggantungi dirinya sendiri yang lemah, kelak ia akan menjadi
manusia terpilih. Ia akan tangguh, karena hatinya telah lapang untuk menghadapi
dan menerima apapun. Saat itu ia telah tahu, setiap harapan yang ada,
gantungannya bukan ke dirinya yang lemah atau ke manusia lainnya yang tak kalah
lemah, tapi ke Yang kuat. Pemilik segala!
Hiks. Romantis sekali Allah mengajarinya
untuk menjadi manusia yang terpilih...
...
Salah satu cara Allah mengajari kita untuk
jadi manusia terpilih adalah dengan menjadi manusia yang sering dihinggapi
kedatangan-kedatangan untuk kemudian harus siap dengan kepergian-kepergian. Dan
kali ini aku dihidangkan pada kepergian seseorang yang selama ini kutemani di
kedai kopi.
Ya, Ranting! Sejak sore itu ia tidak lagi
bertandang ke kedai ini. Aku menunggunya, setiap pagi. Sesekali menengok ke
arah jalan berkelok depan rumah, barangkali sosoknya akan datang. Tapi nihil,
tak lagi kulihat batang hidungnya di kedai. Sedang para pelanggan tetap ramai
berdatangan, bahkan semakin ramai dari hari ke hari. Namun, tiba-tiba ada yang
mendadak sepi. Kutatap pintu masuk, harap-harap dia datang lagi. Ingin sekali
aku mendengar celotehannya setiap pagi, mendengar ceritanya yang sering
membuatku tertawa sekaligus sedih, melihat raut wajahnya yang muram namun tetap
bersahaja.
Namun hingga berbulan-bulan, ia tak kunjung
datang. Barangkali ia termakan saranku untuk meluangkan waktu buat me time atau
bermeditasi di gua-gua atau di laut-laut atau di gunung-gunung tertinggi untuk
melepaskan seluruh harapan yang memberati langkah dan hatinya.
Aku mencoba menghubunginya dan berkali-kali
aku melontarkan sms, namun tak ada satu pun yang dibalas.
Kau di mana Ran? Ngopi di mana pagi ini?
Kau baik-baik saja, kan?
Mampirlah lagi ke kedaiku, kita bicarakan
masa depan, jangan lagi yang sudah berlalu.
Ran, kopi jahe itu kehilangan penyeduhnya,
maukah kau kembali datang dan mampir sejenak?
Hari ini kita punya produk kopi baru, biji
kopi terbaik dari pegunungan Ijen. Kau pasti suka..
Hei, kau pergi seenaknya tanpa bayar!
Hutangmu numpuk Ran, bisa rugi lah aku kalau kau tak melunasinya.
Ran, di mana pagi menyembunyikanmu?
Kemarilah, berceritalah lagi padaku. Tentang apapun.
Sialnya, tak ada satu pun sms yang
berbalas. Barangkali Ranting merubah nomor handphonenya, akhirnya kuselosor
setiap media sosial Ranting. Ah, tidak ada yang bernama Ranting. Aku lupa
selama ini tidak pernah bertanya nama medsosnya. Kalau sudah begini, jejaknya
benar-benar hilang tak terdeteksi. Barangkali Ranting benar-benar butuh
sendiri. Dan aku semakin merasa sepi..
Sepi, adakah obatnya? Atau aku sedang
mengalami kehilangan. Kehilangan sebuah harapan dan kenyamanan. Harapan bahwa
Ranting akan selalu menjadikanku teman curhatnya, harapan tentang kedatangan
Ranting setiap pagi, harapan bahwa kita akan selalu berteman baik dan selalu
bertemu setiap hari, harapan bahwa aku bisa menyembuhkan setiap lukanya,
harapan..
Hei, jangan-jangan aku jatuh ke jurang yang
sama dengan Ranting. Aku menengok ke pedalaman hatiku, jangan-jangan di dalam
sana ada harapan bahwa suatu hari nanti Ranting akan datang tidak lagi sebagai
sahabat tapi sebagai laki-laki gagah yang datang menemui ibu untuk melamarku.
Dan aku tak menyadari harapan itu yang ternyata terus tumbuh dari hari ke hari.
Gila!
Ternyata selama ini aku sedang menasehati
diriku sendiri, setiap hari. Setiap kata yang kulontarkan pada Ranting adalah
kata yang kulempar pada diriku sendiri.
Hahaha, Ranting, kau hanya Ranting. Lemah.
Manusia itu seperti Ranting, lemah. Jangan digantungi berbagai macam harapan,
nanti ia akan sering patah..
Hei, aku patah?
Aku melongo, pandanganku menyusuri setiap
kedai yang semakin ramai dari hari ke hari.
..
Aku harus pergi dari sini. Berbulan-bulan
sudah Ranting tak ada kabar, dan sepertinya aku butuh waktu untuk sendiri dulu.
Kuserahkan urusan kedai ini pada sahabatku, Mei.
“Kau
mau kemana, La?”
“Aku
butuh me time bentar, titip kedai ini ya Mei. Insyaallah aku lekas
kembali setelah semuanya berjalan normal”
“Lah,
bukankah kamu sedang baik-baik saja, La?”
“Segala
sesuatu tidak selalu sama dengan apa yang tampak di permukaan, Mei. Hehehe..
aku butuh hiburan, aku butuh sendiri dulu. Aku titip kedai ya..”
Selepas
izin ke ibu dan juga Mei, aku cepat-cepat membereskan tas dan pergi
meninggalkan sepi di kedai kopiku sendiri.
...
Aku tak perlu gunung, laut atau gua untuk
bermeditasi. Aku hanya butuh rumah nenek di desa yang berhalaman sawah
terbentang sejauh mata memandang. Di samping rumah kecilnya, ada musalla kecil
tempat anak-anak mengaji. Kalau pagi, musalla itu sepi. Dan di sanalah aku
meletakkan seluruh kepenatan hati. Nenek juga istikamah membangunkanku untuk
salat malam. Aku jadi ingat kata almarhum ayah dulu:
Salat malamlah, nak! Sungguh, tak ada
ceritanya orang yang rajin salat malam disusahkan hidupnya dan disempitkan
hatinya. Dan mintalah apapun yang kau mau, karena doa-doa di waktu itu bagai
panah yang dilempar dari busurnya dan tepat mengenai sasaran..
Ah, nasehat lama itu sudah lama kulupakan.
Hiruk pikuk kota membuatku lupa untuk sekedar mengingatnya. Hiruk pikuk
kehidupan, dunia, orang-orang, juga membuatku sering tak mendengar suara paling
damai dari dalam hati.
Sehari dua hari di rumah nenek barangkali
aku belum sepenuhnya berdamai, namun hari-hari berikutnya adalah hari yang
sangat lapang. Hampir setiap waktu aku habiskan untuk membantu nenek, apapun
itu. Mulai berkebun, memasak, memberi makan ikan dan kucing, atau mengajar
ngaji anak-anak kecil.
Sebagaimana Hujan, aku melepaskan Ranting
perlahan-lahan. Aku melepaskan hatiku dari berbagai harapan. Ranting tak akan
datang lagi, dia pasti telah menemukan kisah barunya yang bahagia. Dia pasti
telah berhasil mendamaikan hatinya dan Ranting tidak pernah butuh
Bianglala.
..
La, kau di mana? Aku datang ke kedaimu,
kata Mei kau pergi.
Di suatu pagi, tiba-tiba saja sms dari
Ranting datang. Tapi aku tak menghiraukannya. Aku takut berharap untuk bisa
bertemu dengannya lagi. Toh belum tentu ada takdir kita bisa bertemu.
La, maaf selama ini aku menghilang tanpa
kabar. Aku hanya ingin menyendiri dulu dan memperbaiki diriku sebaik-baiknya.
Aku malu selalu datang ke kedaimu dan menjadi laki-laki yang selalu patah hati.
Sedang di hadapanku kau masih seperti perempuan pelangi, kau mampu memberi
warna untuk sekitarmu, sedang aku tidak. Maka aku ikuti seluruh saranmu; aku
pergi untuk membersihkan hatiku dari segala harapan selain kepadaNya. Aku
perbanyak sedekah, aku kencangkan tali silaturrahmi, aku sibukkan diri dengan
membantu kakak sepupuku untuk mengurus panti asuhannya, dan semua itu benar-benar
membuatku bisa melupakan seluruh kecewa dan harapan yang selama ini memberati
hatiku.
Membaca sms panjang dari Ranting, mataku
basah. Tapi aku tetap bersikukuh tidak membalas smsnya. Hingga beberapa hari
kemudian, Ranting mengirim sms lagi.
La, aku yakin ini nomor masih milikmu.
Jika kau memang tidak berkenan menjawabnya, tapi semoga kau berkenan
membacanya. La, ini aku Ranting, laki-laki yang terlalu rapuh untuk digantungi
apapun. Allah memang selalu lebih kuat, dan manusia selalu paling lemah. Terimakasih
untuk telah mengajariku teori itu. Barangkali aku memang telah sering berusaha,
tapi aku lupa berdoa La. Aku lupa mengunci usahaku dengan doa sehingga seperti
kapas beterbangan, usahaku seperti sia-sia. Tapi aku tak mau kalah, pada
hakikatnya aku memang Ranting namun
jiwaku Semesta. Aku memiliki jiwa yang luas, yang tak mudah menyerah dan
tak mudah terluka.
Sebagai tanda ketidakmenyerahanku untuk
hidupku, aku ingin mendatangi ibumu. Aku ingin melamarmu, La. Aku datang lagi,
membawa harapan. Jika kau tidak percaya tentang harapan, aku masih percaya. Aku
masih manusia, aku punya harapan, namun kali ini talinya kugantung langsung ke
Allah, bukan ke manusia.
Jika kau berkenan, pulanglah ke kedai hari
minggu. Aku menunggu.
Kali ini aku bergetar membacanya, Ranting
datang lagi dan membawa kabar bahagia. Dia akan memenuhi harapanku yang
perlahan kumusnahkan.
“Temui Ranting, La. Siapa tau ada jodoh..”
Kata
nenek, selepas aku menceritakan perihal Ranting.
“Tapi saya takut berharap, nek..”
“La, jangan takut! Allah nyuruh kita
untuk harap dan cemas, Raja’ dan khauf. Tidak hanya khauf saja.
Sama seperti saat pertama kali kau menaiki kapal. Kau dibawa berlayar selama
berjam-jam mengarungi lautan luas dan dalam. Ada harapan besar untuk sampai di
seberang, namun kau juga melempar pasrah ketika gelombang menghantam
berkali-kali. Kau berdoa tak henti-henti, mengiringi perjalanan kapal dengan
pikiran yang kemana-mana; bagaimana kalau kapal tiba-tiba karam, bagaimana
kalau mogok mendadak, bagaimana kalau tenggelam. Kau cemas, tapi kau juga punya
harapan untuk sampai di seberang. Barangkali begitu konsep khauf dan
raja’. Sebuah harap dan cemas yang berjalan beriringan..”
Aku tetap tak bergeming. Aku takut kecewa,
aku sungguh takut terluka. Kalau aku pulang, sama saja dengan menyambut harapan
itu. Ah! Harapan!
“Lah, jangan takut La. Ngarepnya ya
sama gusti Allah toh nduk, jangan sama Ranting. Jangan sama manusia. La, kita
ini manusia, jangan sepi dari harapan biar kita tetap hidup. Kau makan karena ngarep
tetap hidup kan? Kamu datang ke rumah nenek karena ngarep bisa
tenang. Tapi kunci pentingnya, harapan
itu harus digantung ke yang Semesta, biar ndak kecewa. Wes to nduk, sana
pulang! Temui Ranting...”
Demi mendengar nasehat nenek yang
meneduhkan, akhirnya aku mau pulang ke kota. Nenek bilang aku harus punya
harapan, tapi aku memilih untuk pulang tanpa harapan. Itu lebih aman dari pada
punya harapan tapi salah gantungan, Hehehe..
...
Sabtu sore aku telah tiba di kedaiku,
disambut Mei dan Ibu di ruang depan. Ibu cerita kalau Ranting datang hendak
melamar. Ish! Curang sekali laki-laki itu tidak meminta persetujuanku terlebih
dahulu. Memang dia percaya kalau aku menerimanya?
“Tapi
semua tetap tergantung kamu, nak..”
Begitu
kata Ibu menanggapi pernyataan yang berkeliaran di otakku barusan.
“Kalau ibu setuju, Lala juga setuju”
“Baiklah
kalau begitu, besok pagi nak Ranting katanya mau ke sini. Kamu bicara sendiri
sama orangnya..”
Aku
hanya mengangguk. Dan sepanjang malam itu aku benar-benar dilingkup rasa
deg-degan. Esok pagi, untuk pertama kalinya aku akan menemui Ranting tidak
sebagai seorang sahabat tapi sebagai perempuan dan laki-laki. Jadi tak sabar
menunggu pagi tiba! Hahaha..
....
Esoknya Ranting
benar-benar datang ke kedaiku tepat jam enam pagi. Seperti biasa, aku
mendatanginya dengan secangkir kopi jahe yang biasa ia pesan.
“Apa kabar tuan Ranting? Enak
sekali datang tak dijemput pulang tak diantar lalu ngilang tiba-tiba..”
“Hahaha... khawatir atau
rindu?”
“Haleh! Tak ada kamus itu di
hidupku. Aku cuma takut kamu ndak bayar hutang yang numpuk segunung”
“Hahaha.. entar hutangnya
satuin sama mas kawin aja ya La..”
Kini giliran aku yang tertawa,
melepas ekspresi cemberut yang sengaja kubuat-buat.
“Gimana La?”
“Gimana apanya?”
“Hah, perempuan memang selalu
begitu. Tak berani memulai atau pura-pura tidak tahu”
Aku tersenyum menanggapi
guyonannya.
“Aku sih yang penting ibu
setuju, toh kamu juga gak jelek-jelek banget”
“Hahaha.. dasar! Tetap aja kamu
La..”
“Eh, tapi mamak setuju ndak?”
“Awalnya sih berat”
“Karena aku berantakan ya?”
“Hahahaha, langsung bisa
ditebak! Pas aku bilang mau ngelamar kamu, ibu nanya: Lala yang mana, Ran?
Yang punya kedai kopi itu? Yang anaknya berantakan?”
“Wah, berarti aku terkenal
banget ya Ran? Padahal kayaknya mamak ndak pernah datang ke sini dan kita ndak
pernah ketemu..”
“Jangan bangga dikenal
berantakan La. Kalau aku sih mending gak terkenal..”
“Ya terserah kau lah, Ran! Eh,
terus mamak bilang apa?”
“Mamak bilang gak ada stok
yang lain ya Ran? Yah aku bilang gak ada mak, stok yang ada tinggal yang
kayak gini..”
“Hahahaha, dasar kau Ran!”
“Tapi yang terpenting akhirnya
mamak nerima La..”
“Tapi
aku gak bisa pergi dari kedai ini, Ran..”
“Jarak
rumah kita kan hanya dua kilometer, La. Kita bisa bolak-balik mendatangi kedai
ini. Kau juga bisa memantaunya dari jauh saat kau tak ada di sini..”
Aku
hanya manggut-manggut saja, setuju.
“Ah ya,
kau dari mana La?”
Aku
mengernyitkan dahi.
“Iya,
kamu pergi kemana? Kata Ibu sama Mei, kamu udah hampir sebulan pergi”
“Oh,
aku ke rumah nenek di Mamburit”
“Mamburit?
Nama yang asing..”
“Hehehe,
iya. Itu nama pulau, jaraknya jauh dari sini. Kalau mau ke sana harus
menyeberangi dua lautan dulu. Pantainya bagus Ran, suatu hari nanti kau harus
pergi ke sana!”
“Mana
bagus sama Hawai?”
“Yah
Mamburit lah..”
“Kok
bisa?”
“Karena
aku gak tahu Hawai, hehehe. Lagi pula Mamburit itu milik negri sendiri, bukan
punya negri orang”
“Kamu
sendirian ke sana?”
Aku
mengangguk.
“Berani
sekali kau La, katamu Mamburit jauh..”
“Ya
elah Ran, negri ini sudah aman kecuali dari korupsi. Hehehe, lagi pula selalu
ada orang baik sepanjang jalan. Aku juga gak bawa perhiasan dan uangku
pas-pasan, jadi gak ada copet yang doyan. Walau perempuan wajahkku juga
pas-pasan, jadi aman dari godaan..”
“Iya,
tapi tetap harus hati-hati”
“Siap
pak Bos! Eh, ngomong-ngomong kenapa kamu kepikiran buat ngelamar aku? Standar
kamu sudah turun ya Ran? Memang di luar sana sudah ndak ada cewek-cewek kece
lagi?”
“Hahaha,
bukan gitu La. Kau memang tak secerdas dan secantik mereka. Kau benar-benar tak
mewah di pandanga orang lain, tapi kau mewah di hatiku”
Mendengar
ucapan Ranting, spontan tawaku pecah.
“Hahahaha,
kesambet setan mana kamu Ran? Kok mendadak alay gitu?”
“Kenyataan
ini, La. Lah, kamu bilang sendiri gak
penting mewah di pandangan orang, yang penting nyaman. Dan aku nemuin
kenyamanan itu bareng kamu..”
Kali
ini aku hanya manggut-manggut lalu mengalihkan pandangan ke arah kedai, sambil
menyembunyikan merah di pipiku.
..
Dan
baiklah, jodoh benar-benar tidak akan kemana. Harapan itu kembali menyala, di
usiaku yang ke 23, aku akan memiliki pasangan hidup yang halal. Berbagai
bayangan indah di masa depan sering terbayang. Bagaimana menikmati hari-hari
pernikahan, melakukan semuanya serba berdua, mengurus kedai berdua, menikmati
pagi hari sambil ngopi dan ngalur ngidul tentang apapun,
melakukan perjalanan ke berbagai tempat bersama, berbagi cerita, berbagi kisah,
hahaha..
Indah sekali.
Hei, lihatlah, kembali kubiarkan hatiku
dipenuhi bunga-bunga harapan.
Dan waktu pernikahan tinggal tiga hari lagi
dari tanggal yang telah direncanakan, undangan telah disebar sejak dua minggu
yang lalu, teman-teman dan keluargaku ramai berdatangan untuk membantu
persiapan pernikahan. Dan kulihat Ranting semakin gagah, dengan kerja kerasnya
untuk mendekor seluruh tempat acara dan ngeformat rangkaian acara.
Lihatlah keringat yang mengalir dari bilik dahinya, tiga hari lagi, aku akan
menjadi orang yang pertama kali mengusap keringatnya.
Mamak dan Ibu juga mulai akrab
mempersiapkan berbagai jajanan atau hidangan untuk para undangan. Sedang aku
sibuk mempersiapkan buah tangan, berupa bibit tanaman obat keluarga untuk
setiap undangan. Ini ide kita berdua; aku dan Ranting. Dekor tempat juga dibuat
seasri mungkin, memadukan konsep hijau alam dan kopi. Acara pernikahan kami
juga diformat dengan berbagai rangkaian seperti bedah buku dan seminar tentang
pernikahan dengan mendatangkan narasumber terkenal soal pernikahan, sebut saja
kang Abay.
Aku tak pernah sebahagia ini, sungguh. Terlalu sempurna Allah merencanakan semuanya.
Aku juga tak menyangka akan menjadi perempuan terakhir dalam kisah Ranting.
Dan waktu berjalan semakin lambat, tinggal
menunggu hitungan jam untuk bisa mengerti bagaimana cerita ini mengalir
untukku. Hei, lihatlah, bunga-bunga harapan semakin mekar di hatiku yang
subur..
“Mei, bibit sawinya kau beli banyak kan?”
“Iya, La. Tenang, semua undangan pasti
kebagian..”
Aku hanya tersenyum mendengar jawaban Mei.
Dan semua orang semakin sibuk di H-3 menjelang pernikahanku dengan Ranting.
Lihatlah Ranting, kita akan menjadi pasangan yang entah serasi atau tidak.
Hahaha.. aku hanya membayangkan kita akan menikmati setiap momen bersama-sama.
Kau bercerita apapun semaumu dan aku bisa berpendapat apapun semauku. Kita juga
bisa bekerjasama dengan baik, aku yang cuci pakaian kau yang jemur. Aku
memasak, kau cuci piring. Aku menyapu, kau mengepel. Kau perbaiki atap rumah
nanti, aku sibuk mempersiapkan makanan untukmu. Kalau ada kabel yang tidak
beres, kau yang perbaiki, aku yang berdoa. Hahaha..
Membayangkannya saja indah, apalagi jika
menjalaninya. Dan kau sepakat untuk bekerjasama. Kita sepakat membangun rumah
tangga bersama-sama. Aku tidak lelah sendirian mengurus rumah, karena ada kau
yang akan setia membantu. Ah, Ranting! Lihatlah, bunga-bunga harapan semakin
mekar di hatiku yang subur..
Dan waktu berjalan entah semakin cepat atau
semakin lambat.
Dan seperti bidadari, aku berdiri di
tengah-tengah mereka yang sibuk mempersiapkan ini itu dengan senyum sumringah.
Eh, tapi tidak ada bidadari yang berpakaian sekumuh ini dan nyeka
keringat sendiri. Hahaha, tak apa lah, aku akan jadi bidadari Ranting saja.
Ranting, iya Ranting. Lihatlah, sejak kemarin ia disibukkan dengan mendekor
ruangan yang belum sempurna selesai.
“La, bagusnya lili ini ditaruh pintu masuk
atau dalam ruangan”
“Di pintu masuk saja, Ran. Tapi sisakan
sedikit untuk dekor ruangan..”
Ranting
mengangguk saja lalu kembali bekerja. Kami memang sudah biasa sharing ide dan
ini sangat bagus untuk perjalanan rumah tangga nanti. Sistem musyawarah harus
diterapkan untuk setiap keputusan, sekecil apapun. Duh Allah, Engkau
benar-benar terlalu baik. Mengganti sosok Hujan dengan sosok Ranting yang tak
kalah hebat. Setidaknya hebat untuk membuatku merasa nyaman bersamanya.
“Nak, undangan juga disuguhi kopi kan?”
Tergesa-gesa,
ibu mendatangiku dari arah dapur.
“Enggeh bu, tapi dibuat prasamanan saja.
Jadi nanti kita persiapkan berbagai macam kopi, biar undangan pilih sendiri mau
kopi yang mana..”
Demikianlah, dan waktu berjalan entah
semakin cepat atau semakin lambat. Sedang bunga-bunga harapan itu dengan
cepatnya mekar dan mengakar di hatiku. Aku lupa, suatu ketika ia akan layu. Aku
lupa untuk menggantungkannya pada Yang kuat. Aku biarkan saja berbagai
kemungkinan indah yang merayapi pikiranku beberapa hari terakhir ini. Aku
sungguh lupa teori Ibnu Athaillah bahwa
سوابق الهمام لا تخترق
القدر
Harapan
yang menggebu-gebu tidak akan mampu merobohkan takdirNya.
Aku benar-benar melupakan
banyak hal. Aku hanya sedang bahagia melihat Ranting dan seluruh orang di sini.
“Nak..”
“La..”
Ibu dan Ranting memanggilku bersamaan, dan
tak perlu menunggu hitungan menit untuk melihat hal paling menyedihkan di
hidupku itu terjadi.
Bruk!
Ranting yang berada di atas tangga setinggi
dua meter berikut tangga itu jatuh tepat di depan mataku menimpa banyak hal
termasuk ibu. Harapan, mimpi, keinginan, rencana, semuanya pecah tiba-tiba. Dan
demi melihat darah yang berceceran, pikiranku semakin kacau.
Aku gemetar, ada yang tercekat, ada yang
tak mampu kuungkap walau sekedar desah. Lihatlah, bagaimana kemudian
Bianglala menghadapi bunga-bunga harapan yang dibiarkannya mengakar selama ini.
Lihatlah bagaimana Allah memberinya cerita sedemikian rupa..
Dan entahlah, setelah
peristiwa itu terjadi aku tak tau apakah ibu dan Ranting masih hidup atau
tidak.
Yang kutau setelah itu, bunga-bunga yang
selama ini mengakar kuat, yang kusiram setiap hari di hatiku, layu perlahan dan
menjadi duri di hatiku sendiri...
Dan setelah itu, aku
sudah tidak ingat apa-apa lagi.
Bondowoso,
23 Maret 2018
Komentar
Posting Komentar