Bang
Yusuf dan Si Cobra
Namanya bang Yusuf. Tanpa
embel-embel nama belakang atau nama depan. Kita “mengenal”nya sudah sangat
lama, mungkin sekitar empat tahun yang lalu. Tingginya kira-kira 170 cm.
Kulitnya agak sawo matang dan tatapan matanya sangat tajam. Itu sih kata orang
yang pernah “ngeliat” atau tanpa sengaja “bertatapan langsung” dengannya. Aku
sendiri belum pernah. Hanya saja, siapa yang tak tau cerita tentang bang Yusuf?
Seseorang yang belum diketahui alamatnya, yang senang sekali masuk ke kompleks
putri pada tengah malam, untuk mengganggu santri-santri yang sedang terlelap
atau sekedar singgah untuk mencuri uang.
Iya, benar, namanya bang Yusuf. Sebenarnya
nama aslinya itu penyusup. Hanya saja, agak dimodifikasi sedikit, dengan
berbagai alasan yang cukup kalian reka-reka saja.
Cerita tentangnya booming sekali
di pesantrenku, di bangku-bangku
sekolah, di kantin, di asrama-asrama, di pasar, di
jalan, dimana-mana. Dan siapa saja yang pernah menjadi korban, dia akan segera
tenar se-pesantren. Hahaha..sempat aku tak percaya, tapi semua seperti tampak
nyata, semalam.
Si bang Yusuf kembali datang.
Waktu itu jam sudah menunjukkan
pukul 01.05 malam. Aku dan beberapa temanku masih sibuk nakror kitab Asybah
wan Nadhoir, yang akan diujikan besok pagi. Beberapa gelas kopi sudah
hampir habis dan tentu saja sangat mempan untuk membuat mata kami bisa mellek
semalam suntuk. Sedang teman-teman yang lain sudah terlelap, menggapai alam
mimpi masing-masing. Mungkin ada yang bertemu dengan tunangannya, atau mungkin
saja ada yang berjumpa dengan Imam Syafi’i atau Imam hambali atau bahkan nabi
Muhammad. Ah entahlah! La’ibrota littawahhum.
“Tapi Mala..untuk kasus yang nabi
Nuh itu tidak termasuk ke qoidah yutahammalud dhororil khosh lidaf’id
dhororil ‘am. Tentu saja diterjukannya nabi Nuh ke laut, sudah direncanakan tuhan sebelumnya” Icha
tetap saja ngotot.
“Iya, Icha. Semua kejadian di bumi ini sudah direncanakan olehNya, tapi bukankah
setiap rencana pasti mengandung hikmah? Kisah tersebut menawarkan qoidah dalam Islam,
bahwa lebih baik mengorbankan satu orang untuk keselamatan banyak orang..”
Aku juga tetap ngotot. Vivi ikut
menimpali, Qudsi juga. Fida tak mau kalah, sedang kak Ela masih sok serius
lebih mendalami lagi kitabnya. Di tengah
kehebohan musyawaroh kami, Fa’a tiba-tiba saja datang tergopoh-gopoh. Wajahnya
memeras keringat. Dan kami segera menangkap aroma tidak beres.
“Ada apa, Fa’a?”
“Itu mbak..itu..di surau..ada....ada bang Yusuf..”
Suaranya terbata-bata mencoba
menyampaikan. Demi mendengar nama bang Yusuf, kami yang saat itu tinggal
berenam, segera berdiri.
“Bawa alat, teman-teman..”
Ujar Qudsi sedikit berteriak.
Spontan masing-masing kami meraih apa saja yang ada di emperan kamar. Kak Ela
dan Vivi meraih gagang sapu, Fida mencabut salah satu kaca jendela, Qudsi
membawa sekrok, Aku sendiri meraih tempat sampah dan Ica sibuk mengambil
dalail-nya ke dampar.
“Ayo cepat kita bergerak, sebelum
beliau kabur. Kak Ela dan Ica cepat hubungi putra..”
Qudsi memberi aba-aba. Kak Ela
dan Ica sigap menuju arah depan, ke asrama putra. sedang kami berjalan pelan-pelan
menuju arah musalla, dengan
peralatan kami masing-masing. Tapi sayangnya, setelah kami kesana, bang Yusuf
sudah pergi. Yang tersisa tinggal beberapa santri putri yang terjaga dengan
wajah yang sama-sama cemas.
“Kalian tidak apa-apa kan?”
“Alhamdulillah, mbak. Tapi kaki Villa
tadi sempat dipegang..”
Sahut Widad. Sedang Villa
terisak, di dekatnya.
“Uang Ufil juga hilang mbak. Tadi
diletakkan dalam tepak, dekat pintu itu..”
“Kenapa tidak teriak?”
“Saya tidak bisa teriak mbak.
Suara saya tercekat. Tadi saya sempat melihatnya, lalu tidur lagi dan baru bangun setelah yang lain juga merasakan
hal yang sama..”
“Baiklah, bagaimana
ciri-cirinya?”
“Dia mengenakan hem kotak-kotak
merah. Kepalanya ditutupi dengan selimut milik Sahrini..Itu buktinya selimut
Sahrini jatuh di pintu keluar..”
Setelah mendengar penjelasan
singkat dari beberapa anak, kami ber-empat segera keluar dari surau dan menuju
bangunan baru yang gelap.
“SSsst..kemungkinan beliau
ada disini. Tidak mungkin dia meloncati pagar, karena banyak pakunya.
Gerbangnya juga sudah kamu kunci kan Mal?”
Aku mengangguk saja, sambil tetap
siap siaga, dengan tempat sampah di tangan.
Anak-anak yang lain juga sudah siap dengan gaya masing-masing.
“Siap kawan...1...2...”
Kami menarik nafas, memejamkan
mata.
“Jangan lupa baca basmalah
kawan..”
Ucapku memecah gemetar. Yang lain
bersorak.
“Huuuu..mentang-mentang nama
sendiri..”
“Aduh kawan, Kiai dawuh betapa
dahsyatnya basmalah itu..”
“Ya sudah Mala...sekarang siap
semua”
“1...2....3...”
Setelah hitungan ketiga, kita
segera berhamburan ke dalam
bangunan baru. Sebelumnya, aku menyempatkan diri menyalakan lampu. Dan ternyata
tak ada siapa-siapa disana. Kami mendengus, kecewa.
“Gimana? Sudah ketangkep?”
Tiba-tiba saja terdengar suara
ustad Fahmi dari luar bangunan. Di sampingnya
ada kak Ela, Ica dan Ustad Ma’un. Kita pun
segera keluar bersamaan.
“Belum ustad, mungkin beliau berani ngelompati pintu
gerbang itu..”
Ustad Fahmi yang juga memegang
kunci gerbang, segera membukanya. Dan kami semua kaget, di atas pagar tembok
sana, sudah banyak anak putra yang memanjat. Bersiap-siap menangkap si
abang.
“Ron..ada orang lewat situ gak?”
teriak Ustad Fahmi ke salah satu dari mereka.
“Gak ada bang..”
Lalu Ustad Fahmi menatap ke arah
kami berenam. Sedang ustad Ma’un tersenyum, di sampingnya.
“Tuh kan, ternyata gak ada
penyusup. Buktinya mereka belum melihat siapa-siapa. Lagi pula kalian masih
menduga-duga saja kan? Masih belum ada bukti nyata, iya kan? Ingat, loh “la Ibrota
lit tawahhum” dugaan yang lemah, tidak bisa dianggap. Mungkin saja tadi itu
suara mangga jatuh. Ya sudah sana pulang ke asrama..”
Kami berenam saling bersitatap. Dan
Qudsi angkat bicara.
“Buktinya bukan cuma suara ustad.
Anak-anak di surau banyak yang melihat. Ufil juga kehilangan uangnya, dia yakin
sebelum tidur uangnya masih ada, dan saat tadi diperiksa sudah hilang. Selimut
Sahrini juga, terjatuh di pintu
tempat bang Yusuf keluar, padahal Sahrini tidur jauh dari sana. Bukankah Al-aslu
idhofatul hadits ila aqrobi awqotih? Asal sebuah kejadian disandarkan pada
hal-hal yang baru saja terjadi..”
Fida juga ikut menimpali
“Ayolah Ustad, bantu kami.
Anak-anak banyak yang ketakutan. Sebisa mungkin kita harus berusaha mengejar
bang Yusuf itu, baru tawakkal. Bukankah Ad-dhororu yuzalu biqodril imkan?”
Tak mau mendengar percakapan
lebih panjang, aku pun beranjak pulang melewati pagar, barat mushollah. Dan betapa kagetnya saat aku
melihat sesuatu keluar dari karung putih itu.
“Ustad...di sini
ustad...ini....”
Tapi tak ada yang mendengar
teriakanku, sedang keringatku sudah mulai terbit satu persatu. Akhirnya aku
berteriak panik:
“Ustad....teman-teman....Bang
Yusufnya sembunyi di sini...”
Dan kulihat mereka segera
berlarian heboh mendekatiku.
“Mana orangnya Mal? Mana?”
Semua orang heran bertanya-tanya.
Aku segera menunjuk ke arah sesuatu yang keluar dari karung putih itu. Sesuatu
yang meliuk-liuk lemah, panjang dan gemuknya hampir sama dengan paha orang
dewasa.
“Hwaaaa.....Ular!!!!!”
Teman-temanku yang lain spontan
berteriak dan lari. Akhirnya tinggal aku, Ustad Fahmi, ustad Ma’un dan Qudsi.
“Ayo ustad..kita harus segera
menyingkirkan ular cobra ini”
“Tapi mal..kita urusi penyusupnya dulu, baru
ular ini..”
“Ustad, Idza ta’arodo
mafsadatani ru’iya a’domuhuma birtikabi akhoffihima. Dan penyusupnya pasti
sudah kabur. Dia mustahil kembali lagi apalagi di tengah
keramaian seperti ini. Sedangkan ular ini akan lebih memudhorotkan”
“Coba kamu maju, Mal. Siapa tau
dia takluk sama kamu, semut aja takluk..”
Ujar Qudsi setengah bercanda,
setengah serius. Dia sedikit mendorong-dorongku. Aku-pun mengumpulkan
keberanian, dengan dibantu ustad Fahmi, Ustad Ma’un dan juga Qudsi. Alat-alat
yang kami bawa tadi, beralih profesi, dari tujuan memukul bang Yusuf, sekarang
menjadi alat satu-satunya untuk menangkap ular itu.
Setelah lama kami berusaha,
dengan wajah yang sama-sama takut dan khawatir, tanpa disangka, saat aku
mencoba untuk menangkap bagian kepalanya dengan tempat sampah yang aku bawa, , cobra
itu tiba-tiba saja, dengan cepat mematuk
lenganku. Aku mengerang kesakitan, dan Qudsi segera membawaku keemperan gudang
yang berada tepat di sebelah utara tempat kejadian. Sempat aku tak
sadarkan diri, dan setelah bangun sudah ada banyak orang di sekelilingku.
“Mal...kamu gak papa kan?” Tanya
Vivi
Dan beberapa orang lainnya,
cemas. Aku hanya menggerakkan kelopak mata, karena tubuhku benar-benar tak bisa
bergerak.
“Never mind ya, Mal. Yutahammalud
Dhororul khosh li daf’id dhororil ‘am. Kamu sudah ngorbanin diri kamu
sendiri untuk kemaslahatan banyak orang..” Ujar Icha kemudian.
Aku ingin tersenyum mendengar
kalimat itu, kalimat yang kami musyawarohkan tadi, tapi sayangnya sungguh tak
bisa. Sedang Anak-anak yang mengelilingiku di emperan
gudang asrama, ramai-ramai berbisik, ada yang masih membicarakan bang Yusuf,
ada yang sudah beralih topik membicarakan ular cobra itu, dan yang lain
menatapku iba. Prihatin. Kak Ela masih sibuk membalut lenganku dengan kerudung
paris putih. Qudsi sibuk memotivasiku, dan Ica terus saja memaksaku untuk terus
minum air putih yang didapatnya dari asta kiai. Sedang ustad-ustad, dan
anak-anak putra yang lain masih sibuk berkumpul di dekat ular cobra itu berada, entah apa yang mereka
musyawarohkan.
Dan di tengah keramaian itu, tiba-tiba saja mataku
menangkap sesuatu. Seorang laki-laki berhem kotak-kotak merah, turun dari bawah
pohon mangga, yang tumbuh tepat di depan
bangunan baru, di selatan
musalla. Tak ada yang
memperhatikannya kecuali mataku. Sayangnya aku sudah tak lagi bisa bergerak
sedikit pun, suaraku pun tercekat, sama halnya dengan apa
yang dialami anak-anak tadi, atau korban-korban sebelumnya. Entah dengan mantra
atau apa, beliau berhasil membuat korban-korbannya bungkam. Dan sekarang
aku yakin, sebelum beraksi tadi, dia telah meletakkan ular cobra itu, agar
perhatian orang-orang tidak lagi tertuju padanya.
Ah, bang Yusuf..lihatlah, dengan
mulusnya laki-laki itu berjalan diam-diam melewati gerbang yang telah sepi dari
siapa pun. Berhasil pergi dari orang-orang yang hendak
menghajarnya.
Lalu mataku terpejam, dan kembali
tak sadarkan diri.
19 april
2015
-setelah
sebuah peristiwa di suatu malam.
Komentar
Posting Komentar