Langsung ke konten utama

Wisuda Kekasih

 

Aku melihatnya tampak tegar, di antara reramaian wisuda, hilir mudik orang-orang, sond system yang menggedor, dan paduan suara yang mulai berkumandang.

Justru aku sebagai istri yang baper, melihat keadaannya saat ini. Predikatnya sebagai hafid terbaik telah dialihkan pada orang lain tanpa alasan yang jelas, dan di hari wisuda tahfidnya itu tak ada abah atau ibu yang datang menyaksikan. Abah, yang telah diundangnya beberapa hari yang lalu mendadak menggagalkan diri dengan alasan kedatangan tamu di rumah. Dan ia sengaja tidak mengundang Ibu: perempuan yang selama ini menjadi penyemangatnya selepas perceraian itu, perempuan yang menjadi tumpuan dan restu untuk segala arahnya, perempuan yang sangat ia cintai.

Berkali-kali aku memintanya untuk datang dan memberikan undangan wisuda itu pada ibu, namun ia bersikeras enggan.

“Aku malu, cinta. Beberapa kali aku datang ke rumah lelakinya itu dan meminta agar lelaki itu memutuskan hubungannya dengan ibu, justru ibu yang mengkhianatiku dan keluarga besar kita, lalu memilih lelakinya itu. Aku bersikap seperti ini juga untuk menghargai nenek yang tidak merestui pernikahan ibu yang keempat kalinya ini. Tenang Cinta, status ibu dan anak tidak akan putus sampai kapan pun, hanya saja interaksi sosialnya yang agak berbeda dan lebih dingin dari biasanya...”

Aku mengiyakan saja apapun keputusan yang ia pilih. Namun sedih sekali rasanya jika prosesi yang selama ini dinanti-nanti ibu, wisuda tahfid anak kesayangan dan kebanggaannya, tak bisa ia saksikan langsung. Aku tau ibu sangat sedih dengan keadaan ini, namun di sisi lain ada perasaan kecewa terhadap jalan yang ia pilih sendiri.

“Beliau memilih lelakinya dan meninggalkan anak-anaknya. Sekarang, kita punya kehidupan masing-masing, kita sudah dewasa, sayang..”

Katanya lagi menjawab risauku.

Dan aku tau betapa sedih dan kecewanya ibu ketika ia tahu tak ada undangan wisuda dari anak tercintanya. Ia mengucapkan selamat melalui media sosial. Foto profil WA dan fbnya diganti dengan foto wisuda kami. Berkali-kali ia juga mendatangi tempat kami berdiam sementara, namun tak ada takdir bertemu. Lama sekali ia menunggu agar bisa bertemu dengan kami. Tapi hingga kami pulang, kami tak pernah bertemu lagi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kusebut Ia, Puisi

 1- Timbul tenggelam  Kadang dekat, kadang lupa pulang Tapi kau selalu setia, Menungguku datang. 2- Tanamlah aku, Sebagai manusia Yang berhak tumbuh Bersama usia Tanamlah aku, Sebagai Ibu Meski berlumur lumpur Doanya melesat menembus waktu Tanamlah aku, Sebagai warga Yang tak punya daya, Kecuali suara Kutanam diriku: Sebagai hamba yang tak punya apa Kecuali Dia. 3- Aku pulang,  Pada rumah bernama puisi Tempatku menemukan diri. 4- Pergi aku jauh, Seperti harapmu: mencari ilmu Selain koper dan ransel, Aku juga melipatmu rapi, dalam dada. Tapi rindu sering datang, membuatnya berantakan. Pergi aku jauh,  Kusangka ranselku berat  Oleh buku dan baju  Ternyata aku juga, Membawa berton-ton rindu yang kerap memberati langkahku. (Bandung yang dingin, di suatu Mei) 5- Enam menuju tujuh Cinta itu terus tumbuh Merona di kala dekat Rindu di kala jauh, Dan di dekatmu: waktu melesat seperti kilat Di jauh: ia terseok menempuh punggung hari, seperti rayap Enam menuju tujuh M...

Ranting

“Ranting”   Author : Fina Laila Ia hanya setangkai Ranting,   jangan digantungi harapan atau perasaan, nanti   bisa terluka dan patah...                                             Kepada : Yth. Sahabat saya,   seluruh manusia se- dunia. Hanya kau yang boleh menyakiti dirimu sendiri, tidak orang lain atau keadaan di luarmu. Maka barangkali keadaan tidak baik-baik saja, tapi pastikan hati dan jiwamu baik-baik saja. Ranting! Hei, perkenalkan, namaku Bianglala, bisa dipanggil Lala atau Bianglala. Asal jangan Biangkerok! Dan dia yang duduk di depanku saat ini adalah sahabat baruku. Namanya Semesta Ranting Mustofa. Sungguh! Katanya itu nama asli ya...

Kala Tubuh Minta Rehat

Catatan Hari Ini 📝✨ Semalam aku udah tekad banget buat nyelesain tugas presentasi genderku bakda subuh. Tapi naas! 🥲 Begitu bangun pagi tadi, kepala langsung puyeng bukan main. Kupakai koyok seperti biasa, terus kupaksa keluar cari angin dan sinar matahari sekalian beli lauk buat sarapan. Biasanya sih, kalau pusing palingan bentar doang, trus sembuh. Apalagi pagi ini ada Pak Lukman Saifuddin ngisi kuliah. Aku pikir, ya udah, rebahan sebentar, nanti juga kuat ikut kuliah beliau. Tapi ternyata, sampai balik ke kamar, pusing makin menjadi. Makan gak enak, mulut pahit banget. Kepala nyut-nyutan—kadang depan, kadang belakang, kanan-kiri pun ikut-ikutan. Nggilaaaaa 😵‍💫 Oke, fine. Aku butuh tidur. Mungkin siangan bisa kerjain tugas presentasi gendernya. Gak papa deh gak ikut kuliah Pak Lukman, yang penting cepat pulih dan bisa fokus. Pas temen-temen pada berangkat kuliah, Yaya—yang biasanya ogah-ogahan—malah ngajakin kuliah: “Miiiii, ayo kuliah, itu mbak-mbak udah berangkat.” “Aduh ...