Aku melihatnya tampak tegar, di
antara reramaian wisuda, hilir mudik orang-orang, sond system yang menggedor, dan
paduan suara yang mulai berkumandang.
Justru aku sebagai istri yang
baper, melihat keadaannya saat ini. Predikatnya sebagai hafid terbaik telah
dialihkan pada orang lain tanpa alasan yang jelas, dan di hari wisuda tahfidnya
itu tak ada abah atau ibu yang datang menyaksikan. Abah, yang telah diundangnya
beberapa hari yang lalu mendadak menggagalkan diri dengan alasan kedatangan
tamu di rumah. Dan ia sengaja tidak mengundang Ibu: perempuan yang selama ini
menjadi penyemangatnya selepas perceraian itu, perempuan yang menjadi tumpuan
dan restu untuk segala arahnya, perempuan yang sangat ia cintai.
Berkali-kali aku memintanya
untuk datang dan memberikan undangan wisuda itu pada ibu, namun ia bersikeras
enggan.
“Aku malu, cinta. Beberapa kali
aku datang ke rumah lelakinya itu dan meminta agar lelaki itu memutuskan
hubungannya dengan ibu, justru ibu yang mengkhianatiku dan keluarga besar kita,
lalu memilih lelakinya itu. Aku bersikap seperti ini juga untuk menghargai
nenek yang tidak merestui pernikahan ibu yang keempat kalinya ini. Tenang
Cinta, status ibu dan anak tidak akan putus sampai kapan pun, hanya saja
interaksi sosialnya yang agak berbeda dan lebih dingin dari biasanya...”
Aku mengiyakan saja apapun
keputusan yang ia pilih. Namun sedih sekali rasanya jika prosesi yang selama
ini dinanti-nanti ibu, wisuda tahfid anak kesayangan dan kebanggaannya, tak
bisa ia saksikan langsung. Aku tau ibu sangat sedih dengan keadaan ini, namun
di sisi lain ada perasaan kecewa terhadap jalan yang ia pilih sendiri.
“Beliau memilih lelakinya dan
meninggalkan anak-anaknya. Sekarang, kita punya kehidupan masing-masing, kita
sudah dewasa, sayang..”
Katanya lagi menjawab risauku.
Dan aku tau betapa sedih dan
kecewanya ibu ketika ia tahu tak ada undangan wisuda dari anak tercintanya. Ia
mengucapkan selamat melalui media sosial. Foto profil WA dan fbnya diganti
dengan foto wisuda kami. Berkali-kali ia juga mendatangi tempat kami berdiam
sementara, namun tak ada takdir bertemu. Lama sekali ia menunggu agar bisa
bertemu dengan kami. Tapi hingga kami pulang, kami tak pernah bertemu lagi.
Komentar
Posting Komentar