Langsung ke konten utama

Pelangi yang Tumbuh di Kota Ini

 

Aku pernah menceritakan padamu perihal pelangi yang setiap pagi melengkung di kota ini. Kejadian itu persis setelah kepergiannya beberapa hari yang lalu. Aku memang gadis pengkhayal, tapi aku sering menggunakan logikaku untuk hal-hal yang butuh dilogikakan. Maka aku jarang percaya pada mereka yang tak masuk akal; termasuk perihal hantu yang katanya sering gentayangan di perpustakaan kampus. Juga pelangi yang tumbuh setiap pagi di kota ini, padahal tak ada hujan yang datang, lagi pula ini masih juni, bulan yang menyimpan musim kering tak berhujan.

Pelangi itu tak mengusik pikiranku, walau berhasil mengusik pikiran dan perasaan orang banyak. Hampir sebulan sudah, kota ini ditandangi pelangi. Hingga banyak orang luar kota datang kemari, dan menyebut kota kami sebagai kota warna-warni. Aku tak peduli, Rabeeca, jadwal kuliahku di semester enam ini menyibukkanku dari itu semua. Deadliane hafalan al-quranku juga harus tuntas sebelum semester ini berakhir. Kalau tak, ayahku tak akan memberiku biaya tiket pulang liburan tahun ini. Ditambah hukuman biaya semester depan yang harus kutanggung sendiri.

Maka aku tak peduli perihal pelangi. Bukankah hal demikian mudah dipercaya, bukankah Allahku Maha Kuasa? Ia bisa saja membuat pelangi selalu terbit di seluruh kota di Nusantara. Tidak hanya di kota ini saja.

“Hei, sudah sebulan pelangi itu terbit di kota kita, aku yakin ini ada hubungannya denganmu dan kak Raden”

“Hus, Ngawur!”

“Lah, persis setelah kak Raden pergi, pelangi itu tak berhenti terbit tiap pagi”

Masita masih dengan kengawurannya, didukung teman-temanku yang lain.

Aku memilih beranjak,

“Eh, mau kemana?”

“Ada janjian sama dosen..”

“Dosen? Tumben La..”

Aku tertawa kecil sambil menepuk bahu kiriku dengan tangan kananku.

“Karena yang nakal, tak selamanya nakal. Husnul khotimahlah!”

Ujarku terakhir kali lalu beranjak pergi meninggalkan mereka. Senyumku tak berhenti mengembang sepanjang koridor menuju ruang dosen. Pelangi? Cerita kita? Ah, imajinasi. Allah gak bakal selebbay itu menerbitkan pelangi dengan alasan mengabulkan permintaan kak Raden tempo hari.

La, kalau aku pergi, aku titip pelangi pada Allah di kota ini, buat nemeni kamu, biar gak nangis lagi. Biar hidupmu kembali warna-warni.

...

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kusebut Ia, Puisi

 1- Timbul tenggelam  Kadang dekat, kadang lupa pulang Tapi kau selalu setia, Menungguku datang. 2- Tanamlah aku, Sebagai manusia Yang berhak tumbuh Bersama usia Tanamlah aku, Sebagai Ibu Meski berlumur lumpur Doanya melesat menembus waktu Tanamlah aku, Sebagai warga Yang tak punya daya, Kecuali suara Kutanam diriku: Sebagai hamba yang tak punya apa Kecuali Dia. 3- Aku pulang,  Pada rumah bernama puisi Tempatku menemukan diri. 4- Pergi aku jauh, Seperti harapmu: mencari ilmu Selain koper dan ransel, Aku juga melipatmu rapi, dalam dada. Tapi rindu sering datang, membuatnya berantakan. Pergi aku jauh,  Kusangka ranselku berat  Oleh buku dan baju  Ternyata aku juga, Membawa berton-ton rindu yang kerap memberati langkahku. (Bandung yang dingin, di suatu Mei) 5- Enam menuju tujuh Cinta itu terus tumbuh Merona di kala dekat Rindu di kala jauh, Dan di dekatmu: waktu melesat seperti kilat Di jauh: ia terseok menempuh punggung hari, seperti rayap Enam menuju tujuh M...

Ranting

“Ranting”   Author : Fina Laila Ia hanya setangkai Ranting,   jangan digantungi harapan atau perasaan, nanti   bisa terluka dan patah...                                             Kepada : Yth. Sahabat saya,   seluruh manusia se- dunia. Hanya kau yang boleh menyakiti dirimu sendiri, tidak orang lain atau keadaan di luarmu. Maka barangkali keadaan tidak baik-baik saja, tapi pastikan hati dan jiwamu baik-baik saja. Ranting! Hei, perkenalkan, namaku Bianglala, bisa dipanggil Lala atau Bianglala. Asal jangan Biangkerok! Dan dia yang duduk di depanku saat ini adalah sahabat baruku. Namanya Semesta Ranting Mustofa. Sungguh! Katanya itu nama asli ya...

Kala Tubuh Minta Rehat

Catatan Hari Ini 📝✨ Semalam aku udah tekad banget buat nyelesain tugas presentasi genderku bakda subuh. Tapi naas! 🥲 Begitu bangun pagi tadi, kepala langsung puyeng bukan main. Kupakai koyok seperti biasa, terus kupaksa keluar cari angin dan sinar matahari sekalian beli lauk buat sarapan. Biasanya sih, kalau pusing palingan bentar doang, trus sembuh. Apalagi pagi ini ada Pak Lukman Saifuddin ngisi kuliah. Aku pikir, ya udah, rebahan sebentar, nanti juga kuat ikut kuliah beliau. Tapi ternyata, sampai balik ke kamar, pusing makin menjadi. Makan gak enak, mulut pahit banget. Kepala nyut-nyutan—kadang depan, kadang belakang, kanan-kiri pun ikut-ikutan. Nggilaaaaa 😵‍💫 Oke, fine. Aku butuh tidur. Mungkin siangan bisa kerjain tugas presentasi gendernya. Gak papa deh gak ikut kuliah Pak Lukman, yang penting cepat pulih dan bisa fokus. Pas temen-temen pada berangkat kuliah, Yaya—yang biasanya ogah-ogahan—malah ngajakin kuliah: “Miiiii, ayo kuliah, itu mbak-mbak udah berangkat.” “Aduh ...