Pena : Fina laila
Dia selalu mencoba menghilang, pergi dariku tanpa berkabar. Dan tak sampai 2 bulan, dia juga selalu kembali lagi. Mengunjungi rumahku, membawakan oleh-oleh, bercerita ini itu, bagai ia tak sadar bahwa kita sudah sama-sama dewasa, tak suka lagi aku mendengar cerita-cerita khayalannya. Tapi aku suka gaya dia bercerita, dia senang sekali mengiringi ceritanya dengan gerakan-gerakan tangan, dengan mata yang bolak dan suka meniru berbagai suara.
Dia selalu tampak bak kembang sepatu disiram air hujan. Segar, indah, dan tak pernah kutemukan alamat duka dipedalaman matanya. Padahal, aku tau alasan kenapa dia selalu pergi tanpa kabar dan rajin pula bertandang tiba-tiba.
“Ini dik Laras, wedang jahe dan singkongnya disantap dulu…”
Ujar istriku, sambil meletakkan wejangan dihadapan kami berdua. Laras hanya tersenyum mengangguk dan sejenak menghentikan ceritanya.
“Anaknya sudah berapa mbak?”
“Alhamdulillah sudah dikaruniai 3, yang kemarin langsung lahir kembar”
“Oh, ada disini semua?”
“Yang pertama masih sekolah dik, yang kembar itu baru saya mandikan”
Zulfa istriku, segera beranjak menuju belakang,
“Ayo ras, lanjutkan ceritanya..”
Tapi, Laras menggeleng dan merengkuh tas yang sedari tadi stay disamping dia duduk.
“Kelanjutannya, kapan-kapan saja ya dam…cerita selanjutnya itu, ibu sang kelelawar sedang sakit dia tak boleh lama-lama di teman lamanya. Lagi pula, kalau terlalu malam, kelelewar itu takut lupa alamat dan tak bisa menemukan jalan pulang…”
Laras mencoba berkelekar, dia segera beranjak dan kuantarkan sampai gerbang rumah.
“Salam sama mbak Zulfa ya dam, aku punya dongeng seru buat dia”
“Kapan kamu balik lagi kesini?”
“Mungkin besok pagi”
Ujarnya terakhir kali, dan pergi tergesa-gesa. Tetap kutatap langah-langkahnya yang terburu-buru, sambil mengeluarkan secarik tisu.
J
Esok paginya, kutunggu Laras diberanda rumah, bersama istriku yang kemarin dikiriminya salam.
Tapi hingga bedugpun, dia tak kunjung datang.
J
Laras kembali menghilang, dan tak ada seorang pun yang tau kemana dia pergi.
Dan setiap malam, setiap kali ingin kututup hari, setiap kali aku berusaha mati-matian melupakannya, melupakan perasaan yang kerap kali tumbuh lagi, melupakan berbagai kesalahan, melupakan berbagai kenangan dan janji-janji ,Ah! perasaan itu selalu datang dengan tega, menyelimutiku, menggantikan selimut belang millik istri, dan semakin menggigilkan malamku. Aku kerap kali insomnia, memikirkannya lagi. Lalu lagi, dan sulit sekali lupa. Dan ketika aku sudah berhasil memejamkan mata, giliran mimpi buruk yang kerap kali hinggap. Menggelitik malamku.
“Nanti kita buat istana di puncak, ya dik Laras. Setiap pagi aku akan selalu membawakanmu kembang segar, menjemput pagi yang indah dilereng, dan sesekali kita akan memetik daun teh disana…”
Kulihat wajahnya merona, merah. Senyumnya mengembang, berlayar kedalam hatiku.
“Mas, Laras tak ingin apa-apa. Laras hanya ingin sampean ada bersama Laras, mendampingi hidup Laras, menemani Laras, dan kita akan terus berdongeng...”
“Itu permintaan yang sangat sederhana dik..Hidup bersamamu, memang cita-cita mas sejak 7 tahun silam, sejak pertama kali kita jadian…”
Laras kembali mengembangkan senyumnya. Senyum yang kupatahkan dengan tega. Ah! Salahku, telah membuncahkan hatinya waktu itu, salahku, telah menanam berbagai bibit indah bunga yang kuharap kelak akan merekah dan akan kita rawat berdua, ah salahku, terlalu banyak menitipkan janji pada hatinya, padahal aku tau hati perempuan memang gampang sekali percaya dan sekali berharap, harapannya akan menggunung. Sulit sekali mematahkannya.
AH!
Jangankan membuatkan istana, memenuhi impiannya yang sederhana pun aku tak bisa.
“Mas Adam…kenapa? Gak bisa tidur lagi?”
Zulfa terbangun, dan mengagetkanku. Aku hanya menggeleng lemah.
“Kepikiran dik Laras lagi?”
Tanya istriku, dan tampak sekali dia nyaris menangis. Segera kupeluk punggungnya, kubiarkan kepalanya bersandar pada bahuku.
“Aku selalu merasa bersalah, mas. Melayarkan hati dan perasaanku sendiri, dan membiarkan hatinya karam…”
“Aku yang salah dik. Membiarkannya hidup bersama janji-janji yang tak pernah satupun kutepati, dan membiarkannya merawat kenangan bersamaku selama bertahun-tahun, menjalani cinta masa remaja, hingga kita sama-sama dewasa. Dan ketika hidup mulai beranjak serius, kau datang dengan sangat sempurna…”
“Seharusnya kau tak pernah tau tentang perasaan ini, mas..seharusnya aku yang mengalah”
“Tidak dik, takdir telah memutuskannya. Kau yang ada disampingku. Dan tak pernah ada perasaan yang salah..”
Kita berpelukan hingga fajar, sama-sama meredam berbagai perasaan semalaman.
Penasaran??
cek buku nala
cek buku nala

Komentar
Posting Komentar