Desember, 2035
Kafe ini tetap sunyi, sejak pagi hanya aku
menjadi satu-satunya pengunjung. Kutatap nanar kertas yang sudah penuh dengan
tulisan acak. Kertas kucel yang, agak basah, dikit. Tapi sudah mengering. Berjam-jam
di sini sendiri, setiap pagi, mataku sudah ingin pensiun ngeluarin air.
Jika sebuah cerita telah usai, kedua belah
pihak harus sama-sama lari menjauhkan diri.
Agar tidak saling melukai.
Jarak; akan melindungi seseorang dari luka. Katanya.
Oh tidak, tidak perlu ditahan. Tulis saja. Semua,
apapun, sampai hatimu lega, sampai entah beberapa bulan atau beberapa tahun
lagi, sampai aku benar-benar bisa pulih dari cerita ini.
Ra, kalau patah hati itu ngaji. Allah yang
kasih ketenangan ke hati orang mukmin. Bukan malah tiap pagi datang ke kafe
sendirian pesen Americano yang pahitnya minta ampun itu. Orang gila mana yang….
Omelku ke diri sendiri.
Lah siapa tau Allah lagi di kafe ini, ye kan, nemenin diriku.
Dia kan Maha Tau kalau hambaNya lagi porak poranda kena musibah angin topan,
tsunami, gempa bumi, longsor. Hatinya nyaris tak bisa diselamatkan.
Lalu percakapan-percakapan terakhir terus ngiang dalam pikiranku. Juga hari-hari mawar yang mewarnai masa-masa belajarku di pulau ini.
“Ra, saya pamit ya. Maaf tidak bisa membuatmu bahagia,
maaf kalau kehadiran saya justru merusak ceriamu..”
Kata-kata itu terus berulang di pikiranku
akhir-akhir ini.
“Mas, perjodohan sampean kan masih beberapa
bulan lagi, boleh ndak saya tetep mencintai sampean,”
Mas Tegar menatap, lembut, seperti biasa.
“Boleh, yang gak boleh itu kita saling
menghubungi lagi. Bisa yar a, kita sama-sama berjuang untuk saling lari dari
satu sama lain, saya juga terus berusaha;”
Uluuuuu, pahit sekali kalimat itu fergusoooooo.
Di titik itu juga aku sadar, sebuah kata “asing” akan menjadi makanan
sehari-hariku setelah ini. Lalu hari-hari adalah kosong tanpa sapaan dan senyumnya
lagi.
Komentar
Posting Komentar