Dear Obien,
Hari
ini, hari rabu, tertanggal 14 Desember
2017 dan awan masih cerah pun langit masih sangat biru. Teman-teman masih tampak
ceria walau ujian yang sangat melelahkan sudah memasuki hari keempat. Termasuk
gadis itu, yang semoga kau masih ingat aku pernah menceritakannya sebagai gadis
primadona karena kecantikannya yang dikagumi banyak orang. Namanya Junaidah,
barang tentu orangtuanya menginginkannya sebagai tentara perempuan yang tangguh,
sesuai dengan arti namanya.
Ketegarannya
mewarisi ketegaran mamaknya yang merawat dirinya dan seorang adik laki-lakinya
seorang diri. Bapaknya telah wafat sejak ia dan adik laki-lakinya masih kecil.
Dan mamak tidak menikah lagi setelah itu. Untuk menghidupi dan membiayai
pendidikan kedua anaknya, mamak yang tangguh itu hanya bekerja sebagai buruh
kebun nyambi mengabdi ngajar di pesantren dekat rumahnya.
Ia
benar-benar mamak yang luar biasa tidak hanya bagi Junaidah, tapi bagi kami
teman-temannya yang sering mendengar cerita tentang kehebatan dan ketangguhan
mamak. Bahkan kami pernah berkirim surat penuh manja dan ingin sekali bertemu
dengan mamak yang sering diceritakan Junaidah. Sayangnya mamaknya ada di jauh,
di pulau Kalimantan Selatan di desa terpencil bernama Baliangin. Jadi kami
hanya bisa mendengar suara mamak lewat telepon, saat Junaidah menelepon
mamaknya.
Seperti
ibumu, mamaknya juga sering menasehati dan memotivasi Junaidah dan memang bagi
Junaidah, mamak adalah motivator terhebat dan nomor satu. Mamaknya sering
mengingatkannya untuk ibadah, taat ke guru, rajin belajar, tidak melanggar
aturan pesantren, tidak pernah pacaran dan berbagai nasehat lainnya untuk
Junaidah yang sedang nyantri di jauh.
Ketika
kemudian ia menyukai laki-laki yang telah lama menyukainya, ia selalu merasa
bersalah ke mamak. Pernah juga ketika Ramadan kami sekamar keluar asrama demi
memenuhi undangan buka bersama di rumah teman yang dekat dengan asrama, namun Junaidah
memilih sendirian di asrama waktu itu karena mamak melarangnya keluar tanpa
izin.
Semua
hidupnya selalu tentang mamak, semua perjuangannya selalu untuk mamak, semua
doanya selalu mamak, semua ceritanya adalah mamak yang utama, hampir seluruh tulisannya
tentang mamak, semua rasa bersalahnya karena mamak, semua cita-citanya karena
mamak, semua harapannya adalah mamak, semua motivasi adalah mamak, bahkan
alasan satu-satunya ia ada di Mahad Aly adalah mamak, semua itu karena ia
adalah anak tertua dan hanya mamak yang ia miliki satu-satunya sebagai pegangan.
Dear
Obien..
Sudah
hampir dua tahun ia tak bertemu dengan mamak. Terakhir bertemu itu waktu ia
pulang ke Kalimantan tahun 2016. Dan liburan 2017 barusan ia tidak pulang, lalu
rencananya mamaknya akan mengunjunginya sekitar bulan juli kemarin namun
Junaidah tidak memperbolehkannya karena kasihan ke mamak. Maka rencana itu
kemudian ditunda hingga haul mendatang. Mamak akan datang ke Sukorejo..
Lalu mamak yang hebat itu tidak pernah
menceritakan tentang apapun yang dideritanya, apapun penyakitnya dan apapun
masalah yang ia hadapi sendirian di rumah pada Junaidah. Tentu saja, karena
mamak tidak ingin konsentrasi anaknya terganggu. Dan Junaidah selalu nyaman
untuk bercerita kepada mamak tentang hal apapun kecuali tentang laki-laki. Mamak
selalu berpesan agar tidak berhubungan dengan laki-laki dulu sampai lulus Mahad
Aly.
Dear
Obien,
Namanya
Junaidah, usianya dua puluh tahun, anak pertama dari dua bersaudara, dan di
hidupnya ia hanya memiliki mamak sebagai tumpuan (selain tuhan). Adiknya baru
mondok tahun ini di Madura. Maka tahun ini, mamak benar-benar sendirian di
rumah. Baru saja kemarin adiknya datang kemari untuk mengunjungi Junaidah dan
kulihat kepolosannya hampir sama dengan kepolosan Junaidah. Keduanya
benar-benar telah dididik dengan sangat baik oleh mamak seorang diri.
Dear
Obien,
Dan
hidup selalu tak diduga alurnya. Barangkali Junaidah benar-benar akan
dinobatkan sebagai tentara perempuan yang tangguh. Hari ini, tertanggal 14 di
ujung tahun 2017, selepas ujian jam pertama, gadis itu beberapa kali dipanggil
oleh orang rumahnya yang juga nyantri di Ma’had Aly. Gelisah dan mendung serta
kecemasan menyatu di wajahnya yang cantik. Ia tiba-tiba masuk ke gerbang
membawa air mata. Kami segera mengurubunginya gelisah dan bertanya-tanya ada
apa.
“Saya
disuruh pulang karena mamak sakit habis jatuh..”
Ya
Allah, hati kami berdesir tiba-tiba. Berbagai negatif thinking segera merayap di
masing-masing pikiran kami termasuk di pikiran Junaidah yang sudah menangis tak
terelak. Hei, seorang santri mendadak disuruh pulang padahal ia sedang ujian
dengan alasan mamaknya sakit, padahal selama ini sesakit apapun mamak ia tak
pernah menceritakannya pada Junaidah terlebih saat ini ia sedang ujian. Namun
kami saling menguatkan. Dan seorang santri yang mendadak dijemput itu pasti kau
paham apa maksudnya, Bien.
“Tidak
mungkin hal terburuk itu terjadi, ayo sama-sama berdoa..”
Dan
kita saling menguatkan walau beberapa di antara kami yang telah mengalami hal
yang sama telah meneteskan air mata. Lalu Junaidah diajak izin ke bu Nyai
segera. Ketika ia pergi, kami segera menghubungi nomor orang rumahnya dan
menanyakan kejelasan yang terjadi. Ya tuhan Bien,
Benar sekali praduga kami!
Pagi
ini, mamak telah tiada akibat jatuh dari sepeda dan dibawa ke rumah sakit namun
nyawanya tak tertolong. Kami benar-benar gemetar, menangis, iba, khawatir,
semuanya cambur jadi satu selepas mendengar berita itu. Mamak, orang
satu-satunya yang ia miliki hari ini sudah tiada. Ia tidak memiliki bapak saat
usianya masih sekitar dua tahun, ia bahkan tidak memiliki paman atau bibi
dekat, ia tidak memiliki kakek atau nenek, ia tidak memiliki saudara selain
adik laki-lakinya yang masih baru mondok, dan sekarang mamaknya telah dipanggil
oleh Allah yang Maha Kasih.
Dalam
fikiran kami sama-sama iba dan tak habis fikir, pada siapa kemudian ia
bertumpu? apakah ia bisa kembali lagi dan berkumpul bersama kami lagi di sini? Pasti
ia merasa sendirian bersama adiknya yang masih muda, dan tak menyangka sekuat
apakah kita jika berada di posisi Junaidah?
Dan
kami sama-sama menghapus air mata saat akan mengantarkan kepulangan Junaidah ke
Kalimantan. Kami berusaha menegarkan, berusaha tertawa seperti biasa,
“Jangan
lupa balik ya…”
“Salam
ke mamak..”
“Perbanyak
doa, jangan negative thingking dulu. Semoga mamak cepat sembuh ya..”
Dan
kami sama-sama memeluknya, ia menangis lagi. Lalu selepas ia pergi kami
berbalik arah dan tak terelak lagi air mata keluar bersamaan. Kami benar-benar
merasakan bagaimana perasaannya yang sudah kami anggap sebagai sahabat bahkan
saudara kami sendiri.
Dear
Obien,
Hidup
benar-benar tak terduga bagaimana alurnya. Selalu saja ada cerita yang
menghempas seseorang dengan kuat untuk kemudian akan mendidiknya menjadi
manusia paling karang. Dan Allah selalu Yang Paling Maha Terkasih! kami
percaya, ia akan mengasihi keluarga Junaidah. Mengasihi bapaknya yang telah
lama dipanggilNya, mamaknya yang baru dipanggilNya dan juga Junaidah dan adik
laki-lakinya yang mulai beranjak remaja.
Lalu
ketika sebuah musibah menimpaku, yang paling kuingat kemudian adalah saudaraku,
Junaidah. Musibahnya tentu lebih kuat daripada musibah apa pun yang menimpaku. Lalu
jika suatu hari nanti (na’udzubillah) suamiku meninggal duluan, maka aku
tetap akan tegar sebagaimana ketegaran mamak yang bisa menghidupi kedua anaknya
berbelas-belas tahun seorang diri.
Lalu
teringat kembali kedua orang tuaku yang masih utuh, abah dan umi di rumah. Seberapa
besar ngabdiku untuk keduanya? Bagaimana jika keduanya dipanggil lebih
dulu sebelum aku sempat mengabdi dan benar-benar membahagiakan keduanya?
Dear
Obien,
Orang tua memang selalu lebih utama dari
segalanya. Lalu hari ini, rabu, 14 Desember 2017, masih bagai mimpi, salah satu
saudara kami telah kehilangan satu-satunya orang tua di dunia.Dan ketika aku
menulis catatan ini, ia sedang dalam perjalanan dari Sukorejo menuju Surabaya.
Semoga kau berkenan mengirim doa untuk mamak
di alam sana.
Untuk
mamak terhebat sepanjang hidup, la ha al-fatihah..
Komentar
Posting Komentar