Aku melihatnya tampak tegar, di antara reramaian wisuda, hilir mudik orang-orang, sond system yang menggedor, dan paduan suara yang mulai berkumandang. Justru aku sebagai istri yang baper, melihat keadaannya saat ini. Predikatnya sebagai hafid terbaik telah dialihkan pada orang lain tanpa alasan yang jelas, dan di hari wisuda tahfidnya itu tak ada abah atau ibu yang datang menyaksikan. Abah, yang telah diundangnya beberapa hari yang lalu mendadak menggagalkan diri dengan alasan kedatangan tamu di rumah. Dan ia sengaja tidak mengundang Ibu: perempuan yang selama ini menjadi penyemangatnya selepas perceraian itu, perempuan yang menjadi tumpuan dan restu untuk segala arahnya, perempuan yang sangat ia cintai. Berkali-kali aku memintanya untuk datang dan memberikan undangan wisuda itu pada ibu, namun ia bersikeras enggan. “Aku malu, cinta. Beberapa kali aku datang ke rumah lelakinya itu dan meminta agar lelaki itu memutuskan hubungannya dengan ibu, justru ibu yang mengkhianatiku...